Senin, 13 Agustus 2012

Resonansi Jiwa [11] Pertunjukan akhir


Seorang pemain sirkus memasuki hutan untuk mencari anak ular yang akan dilatih bermain sirkus. 

Beberapa hari kemudian ia menemukan anak ular dan mulai melatihnya. 

Mula-mula anak ular itu dibelitkan kepada kakinya. 

Setelah ular itu menjadi besar dilatih untuk melakukan permainan yang berbahaya diantaranya membelit tubuh pelatihnya. 

Sesudah berhasil melatih ular itu dengan baik pemain sirkus itu pun mulai mengadakan pertunjukan untuk umum.

Hari demi hari jumlah penontonnya semakin banyak. 

Uang yang diterima semakin besar. 

Suatu hari permainan pun segera di mulai. 

Atraksi demi atraksi silih berganti. 

Semua penonton tidak putus-putusnya bertepuk tangan menyambut setiap pertunjukan. 

Akhirnya tibalah acara yang mendebarkan yaitu permainan ular. 
Pemain sirkus memerintahkan ular itu untuk melilit tubuhnya. 

Seperti biasa ular itu melakukan apa yang diperintahkan pelatihnya.

 Ia mulai melilitkan tubuhnya sedikit demi sedikit pada tubuh tuannya. 

Makin lama makin keras lilitannya. 

Pemain sirkus kesakitan. 

Oleh karena itu, ia lalu memerintahkan agar ular itu melepaskan lilitannya tetapi ia tidak mematuhinya. 

Sebaliknya ia makin liar dan lilitannya semakin kuat. Para penonton menjadi panik. Ketika jeritan memilukan terdengar dari pemain sirkus tersebut. 

Dan Akhirnya ia meninggal.
#Summary
Dari kejadian di atas kita bisa renungkan bahwa kadang-kadang dosa terlihat tidak membahayakan. 

Kita merasa tidak terganggu dan dapat mengendalikannya. 

Bahkan kita merasa bahwa kita sudah terlatih untuk mengatasinya. 

Tetapi pada kenyataannya apabila dosa itu telah mulai melilit kehidupan kita, kita akan susah untuk melepaskan diri darinya.




Resonansi Jiwa [10] Sang Juara


Suatu ketika seorang anak sedang mengikuti sebuah lomba balap mobil mainan. 

Suasana sungguh meriah siang itu Karena saat itu adalah babak final. Hanya tersisa empat orang sekarang dan mereka memamerkan setiap mobil yang dimiliki. Semuanya buatan sendiri sebab memang begitulah peraturannya.
Ada seorang anak bernama Peter. Mobilnya tidak begitu istimewa namun ia termasuk dalam empat orang anak yang masuk final. Dibanding semua lawannya mobil Peter yang paling tidak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekuatan mobil itu untuk berpacu melawan mobil yang lainnya.
Yah, memang mobil itu tidak begitu menarik. Dengan kayu yang sederhana dan sedikit lampu kedip di atasnya. Tentu tidak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki mobil lainnya. Namun Peter bangga itu semua sebab mobil itu buatan tangannya sendiri. 
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan mobil balap mainan. Setiap anak mulai bersiap-siap di garis start untuk mendorong mobil mereka kencang-kencang. 

Di setiap jalur lintasan telah siap empat mobil dengan empat pembalap kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan empat jalur terpisah diantaranya. 

Namun sesaat kemudian Peter meminta waktu sebentar sebelum lomba di mulai. Ia tampak berkomat kamit seperti sedang berdoa. Matanya terpejam dengan tangan yang tertangkup memanjatkan doa. Lalu semenit kemudian ia berkata.
“Ya aku siap,”
“Doorr!”
Tanda telah di mulai. Dengan satu hentakan kuat. Mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itu pun meluncur dengan cepat. Setiap orang bersorak sorai, bersemangat menjagokan mobilnya masing-masing.
“Ayo, ayo, cepat, cepat, maju maju maju ayo!” begitu teriak mereka.
Dan ternyata Peter-lah pemenangnya. Ya semuanya senang. Begitu juga Peter.
Ia berucap dan berkomat kamit lagi dalam hati
“Terimakasih tuhan.”
Saat pembagian piala tiba Peter maju ke depan dengan bangga. 

Sebelum piala itu diserahkan ketua panitia bertanya.
“Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan agar kamu menang kan?”
Peter terdiam.
“Bukan pak! bukan itu yang aku panjatkan. Sepertinya tidak adil untuk meminta kepada Tuhan untuk menolong saya mengalahkan orang lain. 
 Saya hanya memohon kepada Tuhan supaya saya tidak menangis jika saya kalah.”
Semua hadirin terdiam mendengar hal itu.
Setelah beberapa saat terdengar gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan.
#Summary
Mungkin telah banyak waktu kita habiskan berdoa kepada Tuhan untuk mengabulkan setiap permintaan kita. Menjadikan kita nomor satu. Menjadi yang terbaik, menjadi pemenang dalam setiap ujian.

Padahal, Bukankah yang kita butuhkan adalah bimbinganNya, tuntutanNya, dan panduanNya. Kita sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tidak adakah semangat perjuangan yang mau kita lalui. 

Saya yakin Tuhan memberikan ujian yang berat bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah. Sesungguhnya Tuhan sedang menguji hambaNya yang sholeh.

Resonansi Jiwa [9] Refleksi diri


Suatu hari seorang anak kecil dan ayahnya berjalan di sebuah gunung. Karena jalannya licin tiba-tiba anak itu tergelincir dan menjerit.
“Ah… ah… ah,”
Tetapi betapa kagetnya ia ketika terdengar ada suara di balik gunung. Dengan penuh rasa ingin tahu ia kembali berteriak.
“Hai siapa kau?”
Ia mendengar lagi suara di balik gunung. Mendengar hal itu ia merasa dipermainkan. Dan dengan marah ia berteriak lagi.
“Kau pengecut!”
Tapi sekali lagi dari balik gunung terdengar suara balasan. Bingung dengan apa yang telah terjadi. Kemudian si anak kecil bertanya pada ayahnya
“Ayah sebenarnya apa yang terjadi? Siapa orang yang meniru ucapanku tadi? Kenapa aku tidak melihatnya?”
Mendengar pertanyaan anak kecil tadi. Sang ayah lalu berkata.
“Anakku, mari perhatikan ini!”
Kemudian sang ayah berteriak sekuat tenaga pada gunung.
“Aku mengagumimu!”
Sekali lagi ayahnya berteriak.
“Kau adalah sang juara.”
Anak itu merasa terhera-heran tapi masih juga belum memahami. Kemudian ayahnya menjelaskan.
“Anakku orang-orang menyebutnya gema. Tapi sesungguhnya ada makna lain dalam kehidupan kita ini. Ia akan mengembalikannya kepada kita apa saja yang sudah kita lakukan dan kita katakan. Hidup kita ini adalah refleksi dari tindakan kita.”
#Summary
Ya, bila kita ingin mendapatkan lebih banyak ketulusan dan kasih sayang di dunia ini maka berikanlah ketulusan dan kasih sayang dari hati kita. Bila kita ingin mendapatkan kebaikan dari orang lain maka berikanlah kebaikan dari diri kita. Hal ini berlaku pada siapa saja dan pada semua aspek kehidupan. Hidup akan memberikan apa yang telah kita berikan padanya. Maka sebenarnya hidup ini bukan suatu kebetulan. Hidup adalah pantulan dari diri kita. Hidup gema dari diri kita.

Resonansi Jiwa [8] Kearifan segenggam garam


Dahulu kala hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal sholeh dan bijak. Di suatu pagi yang dingin datanglah seorang lelaki muda yang tengah di rundung masalah. Dengan langkah gontai dan rambut kusut masai ia tampak seperti orang yang tidak mengenal bahagia. Tanpa membuang waktu ia ungkapkan semua keresahannya. Impiannya yang gagal, karir, cinta dan hidupnya yang tidak pernah berakhir bahagia. Bapak tua yang bijak itu hanya mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Tanpa berkata apa-apa ia hanya mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke dalam segelas air lalu mengaduknya dan berkata.
          “Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya,”
          Anak muda itu pun meminum air yang diberi garam oleh bapak tua tadi.
          “Ah cuih cuih, asin sekali, cuih, pahit pak,” jawab pemuda tersebut.
          Pak tua itu hanya tersenyum lalu mengajak tamunya berjalan ke tepi telaga yang ada di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh sampailah mereka di tepi telaga yang tenang. Masih dengan mata yang tenang dan penuh dengan cinta orang tua yang bijak itu menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu diaduknya air telaga yang membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air telaga tenang ia pun berkata.
          “Anak muda, coba kamu cicipi air telaga tersebut dan minumlah.”
          Saat tamu itu selesai meneguk air telaga Pak tua berkata lagi.
          “Bagaimana rasanya?”
          “Hm… ini baru segar sekali rasa airnya pak tua,” jawab lelaki tersebut.
          “Dan apakah kamu masih merasakan garam di dalam air tersebut?” tanya pak tua.
          “Hm sepertinya tidak. Sedikitpun tidak ada rasa asin,” jawab si anak muda.
          Mendengar hal itu dengan bijak pak tua itu menepuk-nepuk punggung anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga dan berkata.
          “Anak muda pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki.”
“Kepahitan itu selalu berasal dari bagaimana kita meletakkan segalanya dan itu tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup. Hanya ada satu hal yang boleh kita lakukan. Lapangkanlah dada untuk menerima semuanya. Luaskan hati untuk menampung semua kepahitan tersebut. Luaskan wadah pergaulan supaya kita mempunyai pandangan hidup yang luas. Maka kita akan banyak belajar dari keleluasaan itu.”
“Hati adalah wadah itu. Perasaan adalah tempat itu. Kalbu adalah tempat menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hati seperti gelas buatlah laksana telaga yang mampu meredam semua kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Rabu, 08 Agustus 2012

Resonansi Jiwa [7] Cinta dan Waktu


Resonansi Jiwa [7]
Cinta dan Waktu
Alkisah di suatu pulau kecil tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak. Ada cinta, kesedihan, kekayaan, kegembiraan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau tersebut. Semua penghuni mulai cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Cinta sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tidak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik dan membasahi kaki cinta. Tidak lama kemudian cinta melihat kekayaan sedang mengayuh perahu.
“Kekayaan, Kekayaan, tolong aku!” teriak cinta.
“Aduh maaf cinta, perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tidak dapat membawamu. Nanti perahuku tenggelam. Lagipula tidak ada tempat lagi bagimu di perahu ini,” kata kekayaan.
Lalu kekayaan cepat-cepat mengayuh perahunya pergi. Cinta sedih sekali. Namun kemudian dilihatnya kegembiraan lewat dengan perahunya.
“Kegembiraan, tolong aku!” teriak cinta.
Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tidak mendengar teriakan cinta. Air semakin tinggi membasahi cinta sampai ke pinggang dan cinta semakin panik. Tidak lama kemudian lewatlah kecantikan.
“Kecantikan, bawalah aku bersamamu,” pinta cinta.
“Wah cinta, lihatlah kamu basah dan kotor. Aku tidak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini,” sahut kecantikan.
Cinta sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itu lewatlah kesedihan.
“Wahai kesedihan hiks, bawalah aku bersamamu,’
Cinta meminta untuk ikut serta.
“Maaf cinta, aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja,” kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya.
Cinta putus asa. Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Di saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara.
“Cinta, mari cepat naik ke perahuku.
Cinta menoleh ke arah suara tersebut dan melihat seorang tua dengan perahunya. Cepat-cepat cinta naik ke perahu itu tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat orang tua itu menurunkan cinta. Dan segera pergi. Pada sat itu barulah cinta sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua yang menyelamatkannya.Cinta segera mena an kepada seorang penduduk di pulau tersebut siapa sebenarnya orang tua tadi.
“Pak, siapakah orang tua yang tadi?” tanya cinta.
“Oo orang tua yang tadi, dia adalah sang waktu,” jawab penduduk
“Tapi mengapa ia menyelamatkanku. Aku tidak mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku.”
Cinta heran dan penduduk itu menjawab
Hanya waktulah yang tahu berapa nilai sesungguhnya dari cinta itu.

Resonansi Jiwa [6] Memaafkan


Resonansi Jiwa [6]
Memaafkan
Suatu hari seorang pria yang telah banyak membuat kesalahan datang ke hadapan seorang bijak dengan harapan ia bisa di beri petunjuk bagaimana memperbaiki semua kesalahan-kesalahannya itu dan tidak mengulanginya lagi.
“Guru saya mempunyai banyak dosa. Saya sering memfitnah, membohongi dan menggosipkan orang lain dengan banyak hal-hal yang buruk. Saya sekarang menyesal dan ingin memohon maaf lahir dan batin. Bagaimana caranya agar Tuhan dan mereka yang telah saya sakiti itu mengampuni semua kesalahan saya.”
Mendengar hal itu sang bijak berkata.
“Baiklah kalau begitu tolong kau ambil bantal yang ada di tempat tidurku kemudian bawalah ke alun-alun kota. Dan sesampai di sana bukalah bantal itu sampai bulu-bulu ayam dan kapas yang ada di dalamnya keluar tertiup angin. Itulah bentuk hukuman atas kata-kata jahat yang telah keluar dari mulutmu.”
Meski kebingungan toh akhirnya ia menjalani hukuman yang diperintahkan kepadanya. Di alun-alun ia membuka bantal dan dalam sekejap bulu ayam dan kapas beterbangan tertiup angin. Setelah selesai melakukan hukuman itu ia kembali menghadap sang bijak dan bertanya.
“Saya telah melakukan apa yang guru perintahkan, apakah itu berarti sekarang saya sudah diampuni guru?”
Bapak tua yang bijak menggelengkan kepala dan berkata.
Kamu belum dapat pengampunan, kamu baru menjalankan separuh hukumanmu. Kini kembalilah ke alun-alun dan pungutlah kembali bulu-bulu ayam yang tadi beterbangan tertiup angin.
#Summary
Kawan. Tidak peduli berapa kali kita memohon maaf. Kata-kata yang keluar dari mulut kita akan menggema selamanya. Memang sebuah permintaan maaf bisa mengobati banyak hati. Namun agaknya kita juga harus mengingat bahwa semuanya itu tidak akan ada artinya saat kita mengulanginya kembali

Resonansi Jiwa [5] Duka di Perjalanan


Resonansi Jiwa [5]
Duka di Perjalanan
Dari kejauhan lampu lalu lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Seorang pria sebut saja Jack segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tidak mau terlambat. Apalagi perempatan cukup padat sehingga lampu merah menyala cukup lama. Lampu berganti kuning. Hati Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia berhenti atau terus jalan?
“Ah, aku tidak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikir Jack sambil terus melaju.
Tapi tiba-tiba ia mendengar suara pluit. Dan di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Jack pun menepikan kendaraan sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Dan tak lain adalah Bobby, teman mainnya semasa SMA dulu. Kemudian jack melompat keluar dan membuka lengannya sambil berkata.
“Hei Bob, haa, senang sekali ketemu kamu lagi,”
“Hei Jack,” jawab Bobby tanpa senyum.
“Waduh, sepertinya saya kena tilang lagi nich. Saya memang agak terburu-buru Bob. Hehe… Maklum hari ini istri saya ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat ke rumah dong, istri saya sudah menunggu di rumah masalahnya,”
Jack mencoba berkilah.
“Hm Saya mengerti. Tapi sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persmpangan ini. Sekarang berikan SIM-mu Jack,” jawab Bobby.
Dan kemudian ia menulis sesuatu di buku tilangnya.
Melihat sikap Bobby yang dingin, Jack masuk ke mobil dan memandangi wajah Bobby dengan penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bobby kembali ke posnya. Jack mengambil surat yang diselipkan Bobby di sela kaca jendela. Tapi ternyata SIM-nya dikembalikan bersama dengan sebuah nota tulisan tangan Bobby yang isinya adalah :
Halo Jack, tahukah kamu, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu di hukum penjara selama tiga bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya Jack. Begitu juga kali ini. Maafkan aku teman. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah di jalan.
Salam Bobby
Setelah membacanya, Jack terhenyak dan langsung mencari Bobby. Tapi ia sudah meninggalkan pos. Dan sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan.
#SUMMARY
Kawan, tidak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi tawa kita tidak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga. Jalanilah dengan penuh hati-hati.

Resonansi Jiwa [4] JESSICA


Resonansi Jiwa [4]
          JESSICA
Pada suatu malam, Budi seorang eksekutif sukses sepeti biasanya sibuk memperhatikan berkas-berkas pekerjaan kantor yang ia bawa pulang ke rumah. Karena keesokan harinya ada rapat umum yang sangat penting dengan para pemegang saham.
Ketika sedang asyik menyeleksi dokumen kantor tersebut. Putrinya Jessica datang mendekati. Berdiri tepat disampingnya sambil memegang buku cerita baru. Buku itu bergambar seorang peri kecil yang sangat menarik perhatian Jessica.
“Pa, lihat, Jessi punya buku baru baagus dech.”
Jessica berusaha menarik perhatian ayahnya. Budi menengok ke arahnya sambil menurunkan kacamatanya. Kalimat yang keluar hanyalah kalimat basa basi
“Wah bagus ya jess
Iya papa.
Jessica merasa senang karena ada tanggapan dari ayahnya.
Bacain jessi dong pa, pinta jessi dengan lembut
“Wah Papa sedang sibuk  sekali nih! jangan sekarang dech,” sanggah Budi dengan cepat.
Lalu ia segera mengalihkan perhatiannya pada kertas-kertas yang berserakan di depannya. Jessica diam tapi ia belum menyerah. Dengan suara lembut dan sedikit manja ia kembali merayu ayahnya.
“Pa, Mama bilang papa mau baca untuk Jessi,”
“Lain kali Jessica! Sana! papa lagi banyak kerjaan nich.”
Budi berusaha memusatkan perhatiannya pada lembar-lembar kertas tadi. Menit demi menit berlalu. Jessica menarik nafas panjang dan tetap disitu. Berdiri di tempatnya penuh harap. Dan tiba-tiba ia memulai percakapan lagi
“Pa gambarnya bagus-bagus deh, papa pasti suka.”
“Jessicaa!!! Papa bilang lain kali.”
Budi membentaknya dengan keras. Kali ini budi berhasil membuat Jessica mundur. Matanya berkaca-kaca dan ia bergeser menjauhi ayahnya.
“Iya Pa, lain kali aja ya pa,”
Ia masih sempat mendekati ayahnya dan sambil menyentuh lembut tagan ayahnya. Ia menaruh buku cerita di pangkuan sang ayah.
“Pa, kalau Papa ada waktu Papa baca keras-keras ya Pa, supaya Jessica bisa dengar.”
Hari demi hari telah berlalu. Tanpa terasa Dua pekan berlalu namun permintaan Jessica kecil tidak pernah dipenuhi. Buku cerita peri kecil belum pernah dibacakan bagi dirinya. Hingga suatu sore, terdengar suara hentakan keras. Beberapa tetangga melaporkan dengan histeris bahwa Jessica kecil terlindas kendaraan seorang pemuda mabuk yang melajukan kendaraannya dengan kencang di depan rumah Budi.
Tubuh Jessica mungil terlempar beberapa meter. Dalam keadaan yang begitu panik. Ambulance didatangkan secepatnya. Selama perjalanan menuju rumah sakit. Jessica kecil sempat berkata dengan begitu lirih.
“Papa, Mama, Jessi takut Pa. Jessi sayang papa dan mama. “
Darah segar terus ke luar dari mulutnya. Hingga ia tak tertolong lagi ketika sesampainya di Rumah Sakit terdekat.
Kejadian hari itu begitu mengguncang hati nurani Budi. Tidak ada lagi waktu tersisa untuk memenuhi sebuah janji. Kini yang ada hanyalah penyesalan. Permintaan sang buah hati yang sangat sederhana pun tidak ia penuhi. Masih segar terbayang dalam ingatan Budi. Tangan kecil anaknya yang memohon kepadanya untuk membacakan sebuah cerita. Kini sentuhan itu pun terasa sangat berarti sekali.
Sore itu setelah segalanya berlalu. Yang tersisa hanyalah keheningan dan kesunyian hati. Canda dan riang Jessica kecil tidak akan terdengar lagi. Budi mulai membuka buku cerita peri kecil yang diambilnya perlahan dari onggokan main Jessica di pojok ruangan. Bukunya sudah tidak baru lagi. Sampulnya sudah usang dan koyak. Beberapa coretan tak berbentuk menghiasi lembar-lembar halamannya seperti sebuah kenangan indah dari Jesica kecil.
Budi menguatkan hati dengan mata yang berkaca-kaca ia membuka halaman pertama dan membacanya dengan suara keras. Tampak sekali ia berusaha untuk membacanya dengan keras. Ia terus membacanya dengan keras-keras. Halaman demi halaman dengan berlinang air mata.
“Jessi, dengar, papa baca buatmu nak.”
Selang beberapa kata hatinya memohon lagi.
“Jessi papa mohon ampun Nak. Papa sayang sama Jessi
Seakan setiap kata dalam bacaan itu begitu menggores lubuk hatinya.
Tak kuasa menahan sakit. Budi bersujud dan menangis. Memohon kepada Tuhan untuk diberi satu kesempatan lagi untuk belajar mencintai.

Resonansi Jiwa [3] PERSAUDARAAN


Resonansi Jiwa [3]
PERSAUDARAAN
Ada dua orang bersaudara bekerjasama menggarap ladang milik keluarga mereka. Yang seorang si kakak telah menikah dan memiliki keluarga yang cukup besar. Sedangkan si adik masih lajang dan berencana tidak menikah. Ketika musim panen tiba mereka selalu membagi hasil sama rata, selalu begitu.
Pada suatu hari si adik yang masih lajang itu berpikir.
“Tidak adil rasanya jika kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku masih lajang sedangkan kebutuhanku hanya sedikit.”
Maka demi si kakak setiap malam, ia mengambil sekarung padi miliknya dan diam-diam ia meletakkan karung itu di lumbung milik kakaknya. Sekarung padi itu ia anggap cukup untuk mengurangi beban si kakak dan keluarganya
Sementara itu si kakak yang telah menikah pun merasa gelisah akan nasib adiknya. Dan Ia berpikir, tidak adil jika kami selalu membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku punya istri dan anak-anak yang akan mampu merawatku kelak ketika aku tua. Sedangkan adikku tidak punya siapa-siapa. Tidak akan ada yang peduli jika nanti dia tua dan miskin. Sepertinya ia berhak mendapatkan hasil lebih dari aku.
Karena itu setiap malam secara diam-diam ia pun mengambil sekarung padi dari lumbungnya dan memasukkan ke lumbung milik adik satu-satunya itu. Ia berharap satu karung itu dapat mengurangi beban adiknya kelak.
Begitulah selama bertahun-tahun kedua bersaudara itu saling menyimpan rahasia. Sementara padi di lumbung keduanya tidak pernah berubah jumlah. Sampai suatu malam keduanya bertemu ketika sedang memindahkan satu karung ke masing-masing lumbung saudaranya. Dan di saat itulah mereka sadar dan saling menangis berpelukan. Mereka tahu DALAM DIAM ADA CINTA YANG SANGAT DALAM YANG SELAMA INI MENJAGA PERSAUDARAAN mereka. Ada HARTA yang justru menjadi PEREKAT CINTA bukan PERUSAK.

Resonansi Jiwa [2] Tempayan Retak


Resonansi Jiwa [2]
Tempayan Retak
(Kita semua adalah Tempayan Retak.)
Seorang Tukang Air di India memiliki dua tempayan besar. Masing-masingnya bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang di bawa menyilang pada bahunya. Ternyata satu dari tempayan itu retak sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak. Jika tempayan yang tidak retak itu selalu  dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya. Sedangkan Tempayan Retak itu hanya dapat membawa air setengahnya. Selama dua tahun hal ini terjadi setiap hari. Si Tukang Air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya karena dapat melaksanakan tugasnya dengan sempurna.
Namun Si Tempayan Retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya dapat diberikannya. Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini tempayan retak itu berkata kepada si Tukang Air.
“Saya sungguh malu pada diri saya sendiri Tuan dan saya ingin memohon maaf kepadamu,”
“Kenapa? Kenapa kamu harus malu,” tanya Si Tukang Air.
“Ya, selama dua tahun ini saya hanya mampu membawa setengah porsi air dari yang seharusnya yang saya dapat bawa. Retakan pada sisi saya ini telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacat ku itulah tuan saya telah membuat anda rugi,” jawab Tempayan Retak dengan sedih.
Si Tukang Air merasa kasihan pada Si Tempayan Retak. Dan dalam belas kasihannya ia berkata.
“Jika kita kembali ke rumah majikan besok. Aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan.”
Ketika mereka naik ke bukit, Si Tempayan Retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan. Itu membuatnya sedikit terhibur. Namun pada akhir perjalanan ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor. Dan kembali Tempayan Retak itu meminta maaf pada Si Tukang Air atas kegagalannya.
Si Tukang Air berkata kepada Tempayan Retak
“Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu? Tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu? Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu. Dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air kamu mengairi benih-benih tersebut. Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghiasi meja majikan kita. Tanpa kamu sebagaimana kamu adanya majikan kita tidak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang.”
#SUMMARY
Setiap kita memiliki cacat dan kekurangan kita sendiri. Kita semua adalah Tempayan Retak namun jika kita mau Tuhan akan menggunakan kekurangan kita untuk menghias mejanya. Di mata Tuhan yang Bijaksana tidak ada yang terbuang percuma. Jangan takut akan kekurangan anda. Kenalilah  kelemahan anda. Dan anda pun dapat menjadi sarana keindahan Tuhan.

Resonansi jiwa [1] Tuhan dan Tukang Cukur


Meski Ramadhan hampir berakhir, semoga kehadiran tulisan ini dapat mengetuk pintu hati kita. Tulisan ini merupakan salinan dari mp3 yang sering saya dengar setiap malam. Mari kita simak kisah-kisah yang ada di dalamnya :
Resonansi jiwa [1]
Tuhan dan Tukang Cukur
Suatu hari seorang laki-laki sebut saja Steve datang ke sebuah barber shop untuk memotong rambut dan jenggotnya. Ia pun memulai pembicaraan yang hangat dengan tukang cukur yang melayaninya. Berbagai macam topic pun akhirnya jadi pilihan mereka. Hingga akhirnya Tuhan menjadi subjek pembicaraan.
“Hai Tuan, saya ini tidak percaya kalau Tuhan itu ada, seperti yang anda katakan tadi,” ujar si Tukang Cukur
Mendengar ungkapan itu Steve terkejut dan bertanya.
“Mengapa anda berkata demikian?”
“Ya, jika tuhan itu ada, mengapa banyak orang yang sakit dan mengapa banyak anak-anak yang terlantar. Jika Tuhan itu ada tentu tidak ada sakit dan penderitaan, Tuhan apa yang mengijinkan semua itu terjadi,” ungkap si Tukanng Cukur dengan nada tinggi.
Steve pun berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan sang Tukang Cukur. Namun ia sama sekali tidak memberi respon agar argumen tersebut tidak lebih meluas lagi. Saat Steve keluar dari Barber Shop tersebut. Tiba-tiba ia berpapasan dengan seorang laki-laki berambut panjang dan jenggotnya sangat lebat. Sepertinya ia sudah lama tidak pergi ke tukang cukur dan itu membuatnya terlihat sangat tidak rapi. Akhirnya Steve kembali  masuk ke dalam Barber Shop dan kemudian berkata kepada Sang Tukang Cukur.
“Ternyata di dunia ini tidak ada yang namanya Tukang Cukur.”
Otomatis Sang Tukang Cukur terkejut.
“Bagaimana mungkin mereka tidak ada tuan. Buktinya adalah saya. Saya ada di sini dan saya adalah seorang Tukang Cukur!” sanggah Si Tukang Cukur.
Dan Steve kembali berkata tegas.
“Kalau mereka ada tidak mungkin ada orang yang berambut panjang dan berjenggot lebat seperti bapak yang satu ini!”
“Ah, anda bisa saja Tuan. Tukang cukur itu selalu ada di mana-mana. Yang terjadi pada pria ini adalah bahwa ia tidak mau datang ke Barber Shop saya untuk di cukur,” jawab Si Tukang Cukur.
“Tepat!” tegas steve. “itulah poinnya, sebenarnya Tuhan itu ada! Yang terjadi pada umat manusia adalah mereka tidak mau datang dan mencarinya. Itulah sebabnya mengapa tampak begitu banyak penderitaan di seluruh dunia ini.”
#SUMMARY
Kadang kita terlalu gampang mengambil kesimpulan dari sesuatu hal yang tidak kita pikirkan secara mendalam. Tukang cukur itu adalah diri kita juga yang kadang mereka menderita lalu mengatakan Tuhan tidak ada. Sementara, sesungguhnya kita tidak mengenal Tuhan dan mungkin kita tidak dekat denganNya.

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...