BAB
I
PENDAHULUAN
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan
usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran atau cara lain yang dikenal atau diakui masyarakat. Pendidikan juga
merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap Negara. Menurut
Undang-Undang Sisdiknas Th 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan
demikian pendidikan merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh perencana pendidikan
bagi peserta didik.
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang
merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan dan
metode pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan.
Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk
evaluasi.
Tujuan utama melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah
untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan
instruksional oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Tindak
lanjut tersebut dapat berupa penempatan pada tempat yang tepat, pemberian umpan
balik, diagnosis kesulitan belajar siswa dan penetuan kelulusan[1].
Dengan demikian, evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang
tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak
semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan
yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan
dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur
setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil
pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah
yang merupakan bentuk lain daripada
EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya dihapus. Benarkah
UN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan.
Pada dasarnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam
meningkatkan kualitas anak didik dan sekolah sangat bagus dan nilai Ujian
Nasional (UN) dijadikan sebagai patokan kualitas siswa atau sekolah. Sangat
ironis sekali jika seorang siswa dinyatakan lulus atau tidak hanya berdasarkan
beberapa mata pelajaran saja seperti ; bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Bahasa Inggris, Sejarah Nasional dan Geografi Nasional.
Bagaimana dengan mata pelajaran lainnya yang tidak diikutkan dalam ujian
nasional (UN)? untuk apa siswa belajar itu selama tiga tahun? Kenapa nilai mata
pelajaran lain tidak turut diperhitungkan sebagai ukuran kelulusan siswa?
apakah mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) merupakan standar
untuk menentukan kualitas pendidikan suatu Negara ataukah ujian nasional (UN)
hanyalah keputusan politik, Apakah proposional UN jadi standar kelulusan siswa?
Efektifkah UN sebagai sebuah standar kelulusan siswa?
Berbagai pertanyaan timbul seiring dengan pelaksanaan UN bagi siswa-siswa
disekolah. Di satu pihak ada yang mendukung pelaksanaan UN tetap dipertahankan,
akan tetapi disisi lain ada juga yang menginginkan agar UN di sekolah
dihapuskan. Inilah yang sering disebut kubu Pro Kontra.
Untuk melihat seberapa penting pelaksanaan UN di sekolah, sebaiknya kita
tinjau mengenai pelaksaanaan UN pertama kali di sekolah, bagaimana proses
pelaksanaannya, standar UN dan beberapa ketimpangan yang terjadi selama
UNdijalankan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Ujian Akhir
Nasional
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem
ujian nasional telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan,
adapun perkembangan ujian nasional tersebut, yaitu:
1.
Pada periode 1950-1960-an, ujian
akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan
seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh
soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian,
tetapi di pusat rayon.[2]
2.
Periode 1965-1971
Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan
disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan
ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk
seluruh wilayah di Indonesia.
3.
Periode 1972-1979
Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah di
mana setiap atau sekelompok sekolah menyelenggarakan ujian akhir
masing-masing. Soal dan pemrosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh
masing-masing/kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan
pedoman yang bersifat umum.
4.
Periode 1980-2000
Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan
serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan
antar sekolah, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan ujian akhir nasional yang
dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam
EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “paralel” untuk setiap mata pelajaran,
dan penggandaan soal dilakukan di daerah.
5.
Periode 2001-2004
Sejak tahun 2001, EBTANAS diganti dengan penilaian
hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir
Nasional (UAN) sejak tahun 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan
EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun
2003. Dalam EBTANAS, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I
(P), nilai semester II (Q), dan nilai EBTANAS murni (R), sedangkan kelulusan siswa
pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
6.
Periode 2005-sekarang
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar
pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk
SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB.
7.
Periode 2008 - sekarang
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar
pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah
menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk
SD/MI/SDLB.[3]
B.
Standar Ujian Akhir
Nasional[4]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 45 Th
2006 tentang Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2006/2007 dan ditunjang dengan
Prosedur Operasi Standar UN. Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan pemerintah
dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan. Kebijakan
tersebut merupakan keputusan politik atau politik pendidikan, yang menyangkut
kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas-batas tertentu dapat dipolitisir
untuk kepentingan kekuasaan (Mulyasa, 2004:180). Selaku tenaga
kependidikan kita setuju perlunya ujian untuk mengetahui sejauhmana keefektifan
berbagai upaya yang dilakukan dalam proses pendidikan, apakah telah membuahkan
hasil yang memuaskan.
Pemerintah telah menetapkan nilai standar kelulusan UN
minimal yang harus dicapai oleh peserta didik dalam kelulusan. Tujuan
pemerintah memang baik untuk mendongkrak kualitas pendidikan, dengan menetapkan
standar minimal kelulusan 4,01 karena standar duniapun 6,0, jadi wajar kalau
pemerintah menetapkan hal tersebut.[5]
C.
Proses Ujian Akhir Nasional
Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN
bisa diminimalkan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang
menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab.
Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas
Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam
bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan
subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu
dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan
Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah
bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah.
Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh
pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM
Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi
dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel
UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas
jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak
begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil
jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk
itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan
bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains. [6]
D.
Kecurangan Ujian Akhir
Nasional
Dalam pelaksanaa UN, masih ada terjadi kecurangan yang
dapat dilakukan oleh guru yang ingin membantu siswanya, maka ujian nasional
telah menjadi kekuatiran bagi banyak pihak, baik pihak penguji, pihak yang
diuji maupun pihak penyelenggara pendidikan.
Pihak penguji, dalam hal ini Badan Standar Nasional
Pendidikan mengkuatirkan terjadinya kebocoran soal-soal ujian. Oleh sebab itu
mereka melakukan pengawalan ekstra ketat terhadap soal-soal ujian hingga
melibatkan pihak kepolisian lebih besar lagi dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya.
Selanjutnya pihak yang diuji, dalam hal ini para
siswa, kuatir tidak dapat lulus ujian. Oleh sebab itu mereka berusaha mendapatkan
bocoran soal-soal ujian, dengan tujuan agar dapat lulus ujian. Sedangkan dari
pihak penyelenggara pendidikan, dalam hal ini pihak yayasan, kepala sekolah
atau guru, demi mempertahankan atau meningkatkan prestise lembaganya, mereka
rela berbuat curang. Berbagai macam cara ditempuh oleh para penyelenggara
pendidikan agar tingkat kelulusan bisa mencapai 100 persen. Sebab sudah
tertanam dalam benak publik bahwa sekolah yang berhasil mencapai kelulusan 100
persen adalah sekolah yang terbaik dan akan diminati oleh masyarakat. Kecurangan
itu bukan saja terjadi pada saat pendistribusian soal, tetapi dapat terjadi pada
saat ujian nasional tersebut berlangsung. Masalah mau berbuat curang atau
tidak, semua itu memang bergantung pada hati nurani masing-masing. Memang hati nurani
dapat berfungsi mengarahkan seseorang pada jalan yang benar. Masalah apakah
mereka mau berbuat curang atau tidak itu
tergantung dari keputusan yang diambil, apakah mereka mau menuruti suara hati nurani
atau tidak.[7]
Dari pengalaman, pengamatan, dan berbagai sumber
bacaan beberapa motif kecurangan yang kerap dilakukan dalam ujian adalah :
1.
Kiriman jawaban melalui SMS. Ini
merupakan motif yang paling mudah dalam beberapa tahun terakhir meski
membawa hand phone ke dalam ruangan UN dilarang. Tetapi, berbagai
media melaporkan bahwa motif ini merupakan bentuk kecurangan dalam UN yang
cukup tinggi.
2.
Hati-hati dengan tissu! Sejatinya
benda ini digunakan untuk mengelap keringat atau ingus. Tetapi, dalam
pelaksanaan UN tissu kadang kala menjadi media yang digunakan untuk menulis
jawaban dan dengan mudah dilihat dan diedarkan. Kadang kala dalam ujian, tissu
dipakai siswa untuk mengelap kotoran pada Lembar Jawaban Komputer (LJK), untuk
hal seperti ini tidak ada masalah.
3.
Siswa keluar ke WC. Dengan alasan
yang sangat manusiawi, sejumlah peserta UN kadang kala meminta izin kepada
pengawas untuk ke WC. Namun, ini juga kadang dimanfaatkan untuk berbuat curang.
4.
Catatan kecil. Ini merupakan motif
umum yang kerap digunakan oleh siswa dengan membuat catatan kecil dikertas yang
kira-kira berukuran 10 x 10 cm yang berisi jawaban.
5.
Menulis dianggota tubuh yang
tersembunyi. Dibagian-bagian tubuh yang sulit seringkali dijadikan media
kecurangan dalam UN dengan menuliskan catatan tertentu atau jawaban yang dibuat
orang tertentu.
6.
Oknum tertentu yang nekad masuk
ruangan UN.[8]
Ini merupakan motif yang patut diwaspadai dalam ujian
karena hal demikian pernah dilakukan. Tentu kita berharap bahwa UN kelak akan
berlangsung tanpa kecurangan dan siswa lulus juga tanpa kecurangan. Berikut ini
dua cara yang cukup popular di kalangan siswa SMU.
1.
Melakukan kecurangan dengan
membeli jawaban.
Modus yang sering di gunakan adalah jawaban soal yang di ujikan melalui
SMS. Harganya relatif murah, 1 soal berkisar antara 5.00.000,- hingga
2.000.000,- Murah jika di banding harus ngulang. Biasanya jawaban akan dikirim
setelah 30 menit soal di buka atau diujikan.
2.
Magig Brain[9]
E.
Tim pemantau Ujian Akhir
Nasional
Fenomena kecurangan dalam Ujian Nasional (UN)
menghiasi berbagai media yang ada di Indonesia dari hari ke hari. Kecurangan
muncul mulai dari siswa hingga kecurangan yang dilakukan oleh oknum guru. Mungkin
memang fenomena kecurangan saat menjalani UN ini dikarenakan sistem pendidikan
di Indonesia yang kurang baik. Sedikit banyak, ini disebabkan oleh kurang
konsistennya penyelenggara pendidikan serta pemerintah.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, saat ini pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan berbagai usaha antara lain membentuk Tim Pemantau Independen (TPI) dengan salah satu elemennya adalah Perguruan Tinggi yang meliputi dosen dan mahasiswa.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, saat ini pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan berbagai usaha antara lain membentuk Tim Pemantau Independen (TPI) dengan salah satu elemennya adalah Perguruan Tinggi yang meliputi dosen dan mahasiswa.
Menjadi anggota TPI bukan pekerjaan mudah. Menjadi
anggota TPI akan membuat mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab serta membantu
mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman. Menjadi anggota TPI, juga akan membantu
meningkatkan mutu pendidikan dan meminimalisasi kecurangan, serta akan
menjadikan mahasiswa memiliki pengetahuan dan pengalaman, melatih mahasiswa
memiliki rasa tanggung jawab.
Keikutsertaan mahasiswa menjadi anggota TPI merupakan
sebuah upaya untuk menjaga dan menjamin terlaksananya UN yang bebas dari
kecurangan. TPI bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi kecurangan
pada saat ujian seperti yang selama ini masih saja terjadi.[10]
F.
Pro kontra Ujian Akhir
Nasional
Pengumuman Depdiknas tentang
standar Ujian Nasional (UN) tahun ini membuat sejumlah murid was-was. Standar
kelulusan dinaikkan 0,25 dari tahun lalu menjadi rata-rata minimal 5,50 untuk
seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan nilai minimal 4,00 untuk paling
banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dengan
kenaikan standar nilai tersebut, pemerintah berdalih itu semata dilakukan demi
pengujian dan peningkatan mutu pendidikan. Memang UAN bukanlah penentu
mutlak kelulusan seseorang. Berdasarkan PP 19/ 2005 pasal 72 ayat 1 Peserta
didik dinyatakan lulus apabila :
1.
Menyelesaikan seluruh program
pembelajaran
2.
Memperoleh nilai minimal 75 pada
penilaian akhir untuk seluruh kelompok mata pelajaran :
a)
Agama dan Akhlak mulia.
b) Kewarganegaraan dan Kepribadian
c) Estetika
d) Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
3.
Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4.
Lulus Ujian Nasional
Akan
tetapi muncul pertanyaan haruskah pengujian dan peningkatan mutu pendidikan
diukur dengan kenaikan standar kelulusan? Ujian akhir yang dikenal dikalangan siswa sebagai
UAN (untuk SMP dan SMA) dan UASBN (untuk SD) merupakan kegiatan pengukuran dan
penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada tingkat pendidikan
dasar dan menegah. Pelaksanaan UAN sendiri terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan PP No. 19 Tahun 2005 sebagai
peraturan lanjutan. Namun,
sejak pelaksanaannya pada tahun 2004, UAN terus mengundang pro dan kontra dalam
masyarakat. Menurut KPAI, UN menjadi pelanggaran terhadap hak anak untuk
mendapat pendidikan. Hal ini karena
munculnya stigma negatif bagi mereka yng tidak lulus. Selain itu, ada sejumlah
hal yang dianggap buruk dalam penerapannya,seperti :
1. UAN hanya
mempertimbangkan faktor kognitif siswa saja. Ini terlihat dari mata pelajaran
yang diujikan dalam UAN. Sebagai contoh: siswa-siswa yang duduk di SMA kelas
IPA. Mata pelajaran yang diujikan hanya Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia, Fisika, Kimia, dan Biologi. Padahal sebenarnya, siswa-siswa yang
duduk di kelas IPA bukan hanya belajar enam mata pelajaran itu saja. Mereka
juga belajar hal-hal lain semisal olahraga dan seni. Dengan cara seperti itu,
pemerintah seolah mendiskreditkan mata pelajaran lain karena hanya 6 dari 15
mata pelajaran yang ada yang diujikan.
2. UAN tidak
mempertimbangkan faktor psikologi anak dalam pengerjaan soal. Padahal tidak
tertutup kemungkinan seorang anak tidak bisa mengerjakan suatu soal karena ia
dalam kondisi psikologi tidak baik. Contoh anak-anak dalam keadaan rumah tangga
tidak harmonis atau anak yang sedang dalam keadaan menderita sakit flu. Tetapi
hal tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan UAN. Padahal
faktor psikologi anak menjadi penentu mampu tidaknya seorang anak dalam
mengerjakan sesuatu.
3. UAN ibarat Tuhan yang
menentukan masa depan seseorang tanpa memperhitungkan masa belajar seorang
siswa dalam tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, jangan heran ketika
pengumuman UAN, ada sejumlah anak yang berprestasi dapat tidak lulus. Bahkan
tak jarang anak tersebut telah diterima di universitas negeri melalui jalur
PMDK.
4. Standar UAN yang
dinaikkan sebenarnya kuranglah tepat apabila karena alasan peningkatan mutu
pendidikan. Bahkan pemerintah berniat menaikkan standar kelulusan hingga
mencapai angka kelulusan 6,00 seperti Malaysia. Banyak kalangan pemerhati
pendidikan anak yang menyayangkan sikap pemerintah ini. Dalam meningkatkan
kualitas pendidikan, pemerintah memakai tolak ukur nilai tanpa memerhatikan
kondisi sarana dan pra sarana suatu sekolah. Pemakaian standar nilai bukan
memacu siswa untuk pintar melainkan hanya sekadar melalui standar nilai yang
telah ditetapkan. Bahkan tak jarang murid membeli jawaban hanya sekadar lulus
UAN.
Selain itu yang disayangkan dari sikap pemerintah
yaitu membandingkan dengan negara lain semisal Malaysia dan Singapura soal
standar kelulusan tanpa membandingkan pula alokasi anggaran pendidikannya.
Padahal kalau membandingkan dengan negara tetangga terkait anggaran pendidikan,
jelas kita tertinggal. Malaysia sendiri mengalokasikan 26% dari APBN negara
tersebut untuk pendidikan. Sedangkan pemerintah kita baru tahun 2009 ini
mengalokasikan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan. Itu pun masih setengah
hati karena dimasukkannya juga anggaran pendidik di dalamnya.
Tetapi, di
balik aspek negatif yang terdapat dalam pelaksanaan UAN, terdapat pula aspek
positifnya antara lain sebagai berikut;
1.
Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan. Hal ini guna
penyamarataan mutu pendidikan tiap daerah.
2.
Memudahkan proses seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi ini
berlaku pada uan di tingkat pendidikan dasar. Sedangkan pada tingkat pendidikan
menengah, uan hanya sebagi pengukur kelulusan secara nasional walaupun ada
wacana untuk menjadikan uan sebagai tolak ukur masuk ke jenjang pendidikan
berikutnya.
Akan tetapi, di balik segala kekontroversialan
yang dimiliki UAN, pelaksanaan UAN haruslah dihargai karena merupakan satu
upaya pemerintah demi kemajuan pendidikan bagi bangsa ini.[11]
Dari tahun ke tahun penyelenggaraan Ujian Nasional selalu diwarnai
dengan pro-kontra. Di satu pihak ada yang meyakini bahwa Ujian Nasional sebagai
syarat kelulusan siswa masih tetap diperlukan. Tetapi di lain pihak,
tidak sedikit pula yang menyatakan menolak Ujian Nasional sebagai
syarat kelulusan siswa. Masing-masing pihak tentunya memliki
argumentasi tersendiri.
Jika dilihat, tidak ada gunanya pemerintah menaikkan standar
UN, meskipun pemerintah berdalih dengan dinaikkannya standar UN berarti akan
meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi dalam kenyataannya, ketika standar UN
dinaikkan maka yang namanya kecurangan akan terus terjadi. Ini semua disebabkan
berbagai faktor, ada sebagian sekolah yang gengsi jika siswanya ada yang tidak
lulus, karena ini akan menyebabkan citra sekolah buruk. Maka mereka berusaha dengan menghalalkan
segala cara untuk memberikan bantuan kepada siswanya. Sehingga selama ujian
terjadilah berbagai kecurangan.
Tidak mengherankan jika sebagian sekolah bangga dengan
kelulusan siswanya sampai 100%. Padahal ada sesuatu dibalik semua itu. Jika
kecurangan ini masih terus dilakukan, berarti tidak ada gunanya siswa belajar
bertahun-tahun. Pada akhirnya di saat mereka ujian akan mendapatkan bantuan
jawaban. Dan anehnya, siswa pun senang ketika memperoleh bantuan jawaban.
Padahal yang sebenarnya terjadi adalah pembodohan massal. Tetapi hal itu tidak
disadari, karena yang ada dalam pikiran mereka bagaimana caranya bisa lulus
sekolah dengan nilai yang memuaskan.
Dilihat pihak yang menginginkan agar UN dihapuskan, sama
saja dengan nihil jika tidak UN, karena UN merupakan salah satu tolok ukur
melihat kesuksesan siswa selama proses pembelajaran dilakukan. Jika UN
dihapuskan maka siswa tidak akan termotivasi untuk belajar. Karena menurut
mereka untuk apa susah-susah belajar, karena ujian juga tidak akan ada.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat kita simpulkan bahwa UN merupakan sesuatu yang penting dalam
proses pendidikan, meskipun banyak pihak yang kurang setuju dengan diadakannya
UN. Tetapi UN memberikan gambaran sukses atau tidaknya proses pendidikan yang
dilakukan pemerintah. UN sebagai bahan pertimbangan untuk di masa yang akan
dating dalam rangka perbaikan sistem pendidikan kea rah yang lebih baik.
B.
Saran
Dengan
adanya pembahasan mengenai pro kontra mengenai UN ini, diharapkan sistem pendidikan di Negara
kita akan lebih baik dari yang
sebelumnya.
Dalam
pembahasan ini, penulis
mengakui masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi penulisan kata maupun
pemaknaannya yang kurang tepat. Oleh karena itu penulis mohon kritikan dan saran dari pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-undang SISDIKNAS th 2003. Jakarta ; Sinar Grafika
Daryanto,
Evaluasi Pendidikan, 2007, Jakarta : Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar