TAFSIR TARBAWI
Tentang
TUGAS ORANG TUA
DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
(Dengan Pendekatan
Tafsir Tematik)
Oleh
Zuraini Juita
206 342
Dosen pembimbing
Drs. H. Syahril
Tanjung, M. A
PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BATUSANGKAR
2009
Kata Pengantar
Alhamdulillah,
puji syukur penulis haturkan kehadirat Yang Maha Kuasa karena dengan
pertolonganNya penulis telah bisa menyelesaikan makalah mini ini. Dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi yang dibimbing oleh Bapak Drs.
Syahril Tanjung, M. A. Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada Nabi
Junjungan Alam yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah berjuang menegakkan
panji-panji Islam di muka bumi ini.
Dalam tugas
pembuatan karya ilmiah ini penulis dipercayakan oleh dosen pembimbing mata
kuliah tafsir tarbawi untuk membahas mengenai ”Tugas Orang Tua Dalam
Perspektif Alquran”. Meskipun dengan berbagai rintangan yang penulis hadapi
seperti kesulitan dalam mencari tema dalam Mu’jam Al Mufaras, mendapatkan
bahan-bahan yang berhubungan dengan tema penulis dari tafsir-tafsir yang
sebelumnya belum penulis ketahui seperti Tafsir Al-Maraghi, Tafsir Al-Misbah,
Tafsir Al-Jalalain 1 dan 2, dan beberapa tafsir yang menunjang perkuliahan ini.
Hal ini disebabkan karena penulis berasal dari Program Studi Eksak yaitu Tadris
Matematika sehingga penulis agak kesulitan dalam melengkapi bahan-bahan makalah
ini. Tetapi, rintangan ini penulis anggap sebagai tantangan dalam menimba ilmu
dan menyelesaikan makalah ini, karena seperti pepatah ”kesuksesan itu butuh
perjuangan”. Dan berkat semangat yang tinggi akhirnya penulis bisa
menyelesaikan makalah ini, meskipun masih banyak terdapat kekurangan
didalamnya.
Terakhir,
tiada kata yang bisa penulis ucapkan kepada Bapak yang membimbing penulis dalam
penyelesaian tugas ini selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Karena
dengan adanya tugas ini, membuka cakrawala penulis tentang hal-hal yang
berhubungan dengan tafsir. Sehingga hal ini bisa menambah pengetahuan agama
penulis, meskipun penulis bukan dari program studi agama.
Penulis
TUGAS ORANG TUA
MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN
(dengan
Pendekatan Tafsir Tematik)
A. Latar Belakang Penulisan
Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki
tingkat keaslian serta keluasan pembahasan dalam ilmu pengetahuan tidak akan
pernah kering dari panafsiran, ibarat lautan tanpa batas yang tidak akan pernah
kering di minum oleh zaman, oleh karena itu penafsiran dalam Al Qur’an tidak
akan pernah mencapai titik akhir kecuali atas kehendak Allah, Al Qur’an sendiri
diturunkan Alloh sebagai kitab terakhir bagi umat di alam semesta artinya tidak
akan ada lagi kitab suci yang akan di turunkan oleh Alloh SWT.
Kehidupan
yang dijalani manusia di muka bumi ini harus berpegang teguh kepada dua pusaka
yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW, salah satunya Al Quran. Dengan adanya Al
Quran diharapkan manusia tidak menyimpang dari jalan yang telah digariskan oleh
Allah SWT. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mendalami Al quran adalah
dengan mempelajari Tafsir Al quran. Didalam Tafsir Al Quran ini akan diketahui
apa maksud dari ayat-ayat yang telah diturunkanNya, agar manusia bisa
menyiapkan bekal untuk akhirat.
Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai
dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Namun sejalan
dengan bertambahnya usia sang anak, muncul “agenda persoalan” baru yang tiada
kunjung habisnya. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan
santun, penuh berbakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan
baik dengan lingkungan masyarakatnya, tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya.
Perilakunya semakin tidak terkendali, bentuk kenakalan berubah menjadi kejahatan,
dan orangtua pun selalu cemas memikirkanya.
Keluarga
merupakan pijakan dasar bagi pendidikan anak, baik itu pendidikan akhlak maupun
pendidikan umum, terutama pendidikan agama yang berkaitan dengan Tauhid.
Lingkungan yang paling dekat anak adalah lingkungan keluarga. Oleh karena itu
sangat diharapkan keluarga terutama orang tua mampu memberikan pendidikan
tauhid kepada anaknya, sehingga bisa menjadi bekal bagi seorang anak dalam
mengharungi samudera kehidupan.
Sesungguhnya
sejak lahir anak dalam keadaan suci dan telah membawa fitrah beragama, maka
orang tuanyalah yang merupakan sumber untuk mengembangkan fitrah beragama bagi
kehidupan anak dimasa depan. Sebab cara pergaulan, aqidah dan tabiat
adalah warisan orang tua yang kuat untuk menentukan subur tidaknya arah
pendidikan terhadap anak. Didasari
dengan sebuah hadits yang mengatakan bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci, bersih, dan sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
sebagai orang Yahudi, Majusi atau Nasrani”. Beranjak dari hadits ini, maka
keberadaan orang tua sangat penting dalam kehidupan seorang anak, sebagai orang
yang pertama kali memeberikan pendidikan kepada anaknya.
B. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah
1. dalam rangka memenuhi
tugas akademik mata kuliah Tafsir Tarbawi.
2. untuk mengetahui
bagaimana keterkaitan antara tugas orang tua dalam Al-Quran dengan pendidikan
terhadap anak.
3. untuk menambah
wawasan penulis khususnya dan pembaca umumnya.
C. Batasan Masalah
Mengingat
tugas orang tua dalam mendidik seorang anak sangat luas cakupannya, maka
penulis membatasi pembahasan dalam makalah ini. Penulis hanya membahas mengenai
tugas orang tua dalam mendidik anak yang berhubungan dengan pendidikan tauhid.
D. Pengertian Tugas
orang tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang
yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah
orang yang telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. Ibu dan bapak selain
telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan bapak juga yang mengasuh dan yang
telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam
menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan
anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas
tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak.
Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak
adalah dari orang tuanya. Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si
anak dan sebagai penyebab berkenalan dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi
anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang
tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Jadi, orangtua atau ibu dan bapak memegang
peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anak.
E. Langkah-langkah
Tafsir Tematik
Adapun
langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penafsiran ayat-ayat yang berkaitan
dengan tema ini adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan masalah
yang akan dibahas (tema)
2. Melacak ayat-ayat
yang berkaitan dengan tema
3. Menghimpun ayat-ayat
yang berkaitan dengan tema
4. Menyusun tuntutan
ayat sesuai dengan masa turunnya
5. Mengetahui korelasi
antara sebuah ayat dengan ayat lainnya.
Berdasarkan
hasil penelusuran dari Kitab Al-Mu’jam Al-Mufaras karangan Muhammad Fuad Abdul
Baqi, ternyata yang terkait dengan kata kunci ( )
ditemukan ada 110 potongan ayat terdiri dari 41 surat. Kemudian setelah penulis
teliti dengan cermat ternyata yang berhubungan dengan tema tugas orang tua (ayah)
menurut perspektif Al-Quran ada 2 ayat dari 2 surat yaitu :
1. Al-Baqarah / 2 : 34, 133
2. Q.S. As-Shaffat / 37 : 102
Dalam pembahasan ini penulis
hanya membahas tentang surat As-Shaffat ayat 102.
TUGAS ORANG TUA MENURUT PERSPEKTIF
AL-QURAN
(DENGAN PENDEKATAN TAFSIR TEMATIK)
Berdasarkan
hasil penelusuran dari Kitab Al-Mu’jam Al-Mufaras karangan Muhammad Fuad Abdul
Baqi ternyata yang berkaitan dengan kata ( ) dan ( ),
ditemukan 2 ayat dari 2 surat yaitu :
No
|
Surat / Ayat
|
Urutan dalam Al-Quran
|
Urutan Asbabun Nuzul
|
Jenis Ayat
|
1.
2.
3
|
AlBaqarah/ 233
As-Shaffat/ 102
Luqman / 14
|
2
37
31
|
87
56
57
|
Madiniyah
Makkiyah
|
Artinya : ”Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf”
Artinya
: Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar."
PENJELASAN MENURUT PARA MUFASIR
Selanjutnya
penulis akan menjelaskan maksud ayat-ayat yang berkaitan dengan tema dengan
mengemukakan pendapat ahli tafsir, sebagai berikut :
1.
Artinya : ”Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang ma’ruf”
Dalam ayat
ini Allah SWT menerangkan batas penyusuan itu ”selama dua tahun bagi siapa
yang hendak menyempurnakan susuannya”. Dengan keterangan yang jelas dari
ayat ini yaitu masa susuannya itu selama-lamanya adalah sampai anak berumur dua
tahun.
Mengenai hal
ini, Zufar bin Huzail berpendapat bahwa selama anak itu masih dapat mencukupkan
susuan ibunya sebagai makanan pokok dan dia tidak diberhentikan menyusui
walaupun selama tiga tahun maka dia dinamakan juga anak yang masih menyusu.[1]
2.
Artinya
: Maka tatkala anak itu sampai (pada
umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar."
Dibawah ini
akan diuraikan mengenai tugas orang tua menurut perspektif al-Quran ditinjau
dari berbagai tafsir. Adapun pembahasan tersebut adalah :
1. Menurut Ahmad Mustafa
Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi[2]
Dan tatkala
Ismail menjadi besar, tumbuh dan dapat pergi bersama ayahnya berusaha melakukan
pekerjaan-pekerjaan dan memenuhin keperluan-keperluan hidupnya, maka berkatalah
Ibrahim kepadanya, ” Hai anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku
menyemblih kamu. Maka, bagimanakah pendapatmu. Mimpinya itu dia ceritakan
kepada anaknya, dia tahu bahwa yang diturunkan kepadanya adalah cobaan Allah.
Sehingga ia hendak meneguhkan hatinya kalau-kalau dia gusar dan hendak
menentramkan jiwanya untuk menunaikan penyemblihan, disamping agar dia
menginginkan pahala Allah dengan tunduk kepada perintahNya.
Kemudian,
Allah menerangkan bahwa Ismail itu mendengar dan patuh serta tunduk kepada apa
yang diperintahkan kepada ayahnya.
Ismail
berkata: ”Hai Ayahku, engkau telah menyeru kepada anak yang mendengar dan
engkau telah meminta kepada anak yang mengabulkan dan engkau telah berhadapan
dengan anak yang rela dengan cobaan dan putusan Allah. Maka, Bapak tinggal melaksanakan
saja yang diperintahkan, sedang aku hanyalah akan patuh dan tunduk kepada
perintah dan aku serahkan kepada Allah pahalanya, karena Dia-lah cukup bagiku
dan sebaik-baik tempat berserah diri.
Setelah
Ibrahim berbicara kepada anaknya dengan ucapan, Ya Bunayya, sebagai ungkapan
kasih sayang, maka dijawab anaknya, dengan mengucapkan Ya Abati, sebagai
ungkapan tunduk dan hormat dan menyerahkan urusan kepada ayahnya sebagaimana
yang dia rundingkan dengannya. Dan bahwa kewajibannya hanyalah melaksanakan apa
yang dipandang baik oleh ayahnya.
Kemudian,
dia tegaskan tentang kepatuhannya kepada perintah dengan katanya: aku akan
sabar menerima putusan dan sanggup menanggung penderitaan tanpa gusar dan tanpa
gentar dengan apa yang telah ditakdirkan dan diputuskan. Dan memang benar-benar
Ismail menepati apa yang dia janjikan dan melaksanakan dnegan baik kepatuhan
dalam menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya.
Allah SWT
menerangkan ujian yang berat bagi Ibrahim as, ketika Allah SWT memerintahkan
kepadanya agar dia menyemblih anaknya satu-satunya sebagai korban disisi Allah.
Ketika itu Ismail as mendekati masa baligh, masa remaja, suatu tingkatan umur
sewaktu anak dapat membantu pekerjaan orang tuanya. Ibrahim as dengan hati yang
sedih memberitahu kepadanya tentang perintah Tuhan yang disampaikan kepadanya
melalui mimpi dan dia minta pula pendapat anaknya mengenai perintah itu.
Perintah
Tuhan itu berkenaan dengan penyemblihan diri anaknya sendiri, yang merupakan
cobaan yang besar bagi orang tua dan anak. Sesudah mendengarkan perintah Tuhan
itu, Ismail as dengan segala kerendahan hati berkata kepada ayahnya agar
melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepadanya. Dia akan taat, rela dan
ikhlas menerima ketentuan Tuhan serta menjunjung tinggi segala perintahNya lagi
pasrah kepadaNya. Ismail yang masih sangat muda itu mengatakan lagi kepada
orang tuanya bahwa dia tidak akan gentar menghadapi cobaan itu, tidak akan
ragu-ragu menerima Qada dan Qadar Tuhan dan dia dengan tabah dan sabar menahan
derita penyemblihan itu.
Ibrahim
memohon agar kepadanya diberikan anak. Allah mengabulkan doanya dan dengan
perantaraan malaikat dengan menggembirakannya memberikan seorang anak yang
mulia perangainya dan sangat halim hatinya. Sesudah putranya itu lahir dan
sudah dapat membantu pekerjaan orang tuanya mencari penghidupan, pada suatu
hari berkatalah Ibrahim kepadanya : ” wahai anakku, aku bermimpi menyemblihmu,
maka bagaimana pendapatmu.”
Ibrahim
menerangkan mimpinya itu supaya anaknya mengetahui bencana apa yang akan
menimpa dirinya dan dapatlah dia menguatkan hatinya.
Mimpi
orang-orang yang saleh adalah satu suluh dari cahaya allah, sedang mimpi Nabi
dipandang sebagai wahyu yang tak boleh ditolak. Ibrahim bermimpi menyemblih
anaknya dan itulah permulaan mimpinya. Walaupun ibrahim sangat mencintai
anaknya itu, tetapi sebagai seorang rasul, dia tetap melaksanakan tugasnya.
Diapun mengemukakan mimpinya itu kepada anaknya, supaya si anak sendiri dapat
mengemukakan pendapatnya.
Ismail menjawab:
”Wahai Ayah, ayah memanggil seorang yang mendengar seruanmu dan ayah meminta
kepada orang yang memperkenankan permintaanmu, maka perbuatlah apa yang
diperintahkan ayah lakukanlah. Tugasku hanya mengikuti dan menurut perintah..”
Untuk
meneguhkan kerelaannya Ismail berkata lagi : Aku akan sabar atas qadha Allah
dan akan aku pikul beban ini dengan tidak berkeluh kesah. Pada diri pribadi
Ismail terpancar penghayatan iman yang benar dan penyerahan diri yang sempurna
serta sabar dan rela akan qadha Allah.
4. Menurut Imam
Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam Tafsir Jalalain[5]
(Maka
tatkala anak itu sampai pada umur sanggup - berusaha bersama-sama Ibrahim)
yaitu telah mencapai usia sehingga dapat membantunya bekerja, menurut suatu
pendapat umur anak itu telah mencapai tujuh tahun.
Menurut
pendapat lain, pada saat itu anak Nabi Ibrahim berusia tiga belas tahun.
Ibrahim berkata: ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat, maksudnya telah melihat
(dalam mimpi bahwa aku menyemblihmu!) mimpi para Nabi adalah mimpi yang benar
dan semua pekerjaan mereka berdasarkan perintah dari Allah SWT.
(Maka
pikirkanlah apa pendapatmu!) tentang impianku itu; Nabi Ibrahim bermusyawarah
dengannya supaya ia menurut, mau disemblih, dan taat kepada perintahNya.
(Ia
menjawab : ”Hai Bapakku”) kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu untuk
melakukannya (Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar) menghadapi hal-hal tersebut.
5. Menurut M. Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Misbah[6]
Ayat
sebelum ini menguraikan janji Allah kepada Nabi Ibrahim as tentang perolehan
anak. Demikianlah hingga tiba saatnya anak tersebut lahir dan tumbuh
berkembang, maka tatkala ia yakin sang anak itu telah mencapai usia yang
menjadikan ia mampu berusaha bersamanya yakni bersama Nabi Ibrahim, ia yakni
Nabi Ibrahim berkata sambil memanggil anaknya dengan panggilan mesra : ” Hai
anakku, seseungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyemblihmu dan engkau
tentu tahu bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu ilahi. Jika demikian itu halnya,
maka pikirkanlah apa pendapatmu tentang mimpi yang merupakan perintah Allah
itu!”.
Ia yakni
sang anak menjawab dengan penuh hormat : ” Hai Bapakku, laksanakanlah apa saja
yang sedang dan akan diperintahkan kepadamu termasuk perintah menyemblihku;
engkau akan mendapatiku Insya Allah termasuk kelompok para penyabar. Nabi
Ibrahim as menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Ini agaknya karena beliau
memahami bahwa perintah tersebut tidak dinyatakan sebagai harus melaksanakannya
kepada sang anak. Yang perlu adalah bahwa ia berkehendak melakukannya. Bila
ternyata sang anak membangkang, maka itu adalah urusan ia dengan Allah. Ia
berkata itu akan dinilai durhaka, tidak ubahnya dengan anak Nabi Nuh as yang
membangkang nasihat orang tuanya.
Ayat diatas
menggunakan bentuk kata kerja mudhari’ (masa kini dan datang) pada kata-kata ara/saya
melihat dan adzbahuka/saya menyemblihmu. Demikian juga kata tu’mar/diperintahkan.
Ini untuk mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lihat itu seakan-akan masih
terlihat hingga saat penyampaiannya itu. Sedang penggunaan bentuk tersebut
untuk kata menyemblihmu untuk mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang
dikandung mimpi itu belum selesai dilaksanakan, tetapi hendaknya segra
dilaksanakan.
Karena itu
pula jawaban sang anak menggunakan kata kerja masa kini juga untuk mengisyaratkan
bahwa ia siap dan bahwa hendaknya sang ayah melaksanakan perintah Allah yang
sedang maupun yang akan diterimanya.
Ucapan sang
anak if’al ma tu’mar/laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
bukan berkata:” Sembelihlah aku ”, mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni
karena hal tersebut adalah perintah Allah SWT. Bagaimanapun bentuk, cara dan
kandungan apa yang diperintahkanNya, maka ia sepenuhnya pasrah. Kalimat ini
juga dapat merupakan obat pelipur lara bagi keduanya dalam menghadapi ujian berat
itu.
Ucapan sang
anak satajiduni insya Allah min ash-shabirin/Engkau akan mendapatiku
Insya Allah termasuk para penyabar, dengan mengaitkan kesabarannya dengan
kehendak Allah, sambil menyebut terlebih dahulu kehendakNya, menunjukkan betapa
tinggi akhlak dan sopan santun sang anak kepada Allah SWT.
Tidak dapat
diragukan bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah sang ayah telah menanamkan
dalam hati dan benak anaknya tentang Keesaan Allah dan sifat-sifatNya yang
indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepadaNya. Sikap dan ucapan sang anak
yang direkam oleh ayat ini adalah buah pendidikan tersebut.
6. Penafsiran Tauhid
menurut Ensiklopedi Aqidah Islam[7]
Kata tauhid
dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, menurut bahsa, kata tauhid berasal
dari bahasa Arab, yaitu kata dasar ”wahhada” yang berarti ”pengetahuan bahwa
sesuatu itu satu”, atau ”menjadikan sesuatu itu satu”. Kedua, menurut syara’
ialah ”mengesakan yang disembah dalam melakukan ibadah serta mengi’tikadkan dan
membenarkan ke-Esaan-Nya pada Zat, sifat dan af’al (perbuatan) Nya”. Ketiga,
menurut ahli kalam ialah ”ilmu pengetahuan yang mempelajari / membahas hal-hal
yang wajib, mustahil dan jaiz pada zat serta sifat-sifat Allah dan pada zat-zat
serta sifat-sifat Rasul.
Menurut ensiklopedi
ini. Objek kajian tauhid ada tiga, yaitu :
1. Al-Illahiyyat
(masalah Ketuhanan), yaitu zat, sifat dan af’al Allah.
2. Al-Nubuwwat (masalah
Kenabian), yaitu rasul-rasul dan sifat-sifatnya.
3. Al-Sam’iyyat
(masalah yang diberitakan), yaitu masalah yang didengar melalui pemberitaan,
baik langsung dari Allah berupa wahyu maupun dari rasul-Nya berupa Hadits, tentang alam akhirat, termasuk
menyangkut Qadha dan Qadar.
7. Penafsiran Tauhid
menurut Ensiklopedi Islam Indonesia[8]
Tauhid
secara harfiah bearti mengesakan atau menyatukan. Kata tauhid, yang dikehendaki
disini, tidak lain dari tauhidullah, yang berarti mengesakan Allah atau dengan
kata lain menyatakan bahwa Allah itu esa, satu atau tunggal.
Ajaran
tauhid adalah ajaran yang paling kuat mendapatkan tekanan dalam Islam dan
merupakan ajaran yang paling esensial dan sentral dalam Al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad.
Paling
esensial dan sentralnya posisi ajaran tauhid, bukan hanya dalam agama Islam
yang diajarkan oleh Nabi atau rasul terakhir (Nabi Muhammad), tetapi juga dalam
agama Allah yang diajarkan oleh setiap Nabi dan Rasul-Nya sebelum Nabi
Muhammad. Ini jelas terlihat dari informasi-informasi al-Quran tentang para
nabi atau rasul dengan kaum-kaum yang meraka seru (QS. Al-A’raf : 59, 65, 73,
85, QS. Al-anbiya’ : 25) dll. Tidaklah berlebihan bahwa risalah yang diterima
dan diajarkan oleh setiap nabi dan rasul, dari yang pertama sampai yang
terakhir adalah risalah tauhid.
8. Menurut Pemakalah
Menurut
pemakalah, ajaran tauhid merupakan ajaran utama bagi seorang anak, karena
ajaran tauhid merupakan bekal bagi anak dalam meniti jalanNya. Sehingga peranan
orang tua terutama ayah sangat membantu dalam pendidikan tauhid bagi
anak-anaknya.
Ajaran
tauhid merupakan ajaran yang paling esensial bagi seorang muslim, Tauhid sangat
erat kaitannya dengan tingkat keimanan seseorang yaitu keimanan sesorang
ditentukan oleh penghayatannya terhadap tauhid. Semakin tauhid dikuasai secara
benar, semakin dalam pula keimanan seseorang. Karena itu, apabila iman berperan
fungsional dalam kehidupan, maka tauhid berperan dalam meningkatkan iman,
sekaligus meningkatkan kualitas hidup.
Begitu
pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan seseorang sehingga sangat diharapkan
orang tua mampu memberikan pendidikan yang berhubungan dengan tauhid ini. Orang
tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, karena merekalah anak
mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak mampu menghayati suasana
kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh dalam
perilakunya sehari-hari.
3.
Adapun
mengenai pendidikan terhadap anak ini juga ditegaskan oleh Allah dalam Q.S
Lukman ayat 13, yang berbunyi :[9]
Artinya
: ”dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia menasihatinya:
”Hai anakku
Dalam ayat
ini lafaz ya bunayya adalah bentuk tasgir, yang dimaksud adalah
memanggil anak dengan nama kesayangannya- kemudian Luqman mengatakan kepada
anaknya janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar. Maka anaknya itu bertobat
kepada Allah dan masuk Islam.
Setelah itu
Allah juga menjelaskan pendidikan orang tua terhadap anaknya dalam Q.S Luqman
ayat 14 :
Dan Kami
wasiatkan kepada manusia terhadap kedua orang ibu bapaknya, maksudnya Kami
perintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang ibu bapaknya, karena
ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah ia lemah karena mengandung, lemah sewaktu mengeluarkan bayinya
dan lemah sewaktu mengurus anaknya dikala bayi dan menyapihnya, tidak
menyusuinya lagi dalam dua tahun. Hendaknya kami katakan kepadanya,
bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang ibu bapaknya, hanya kepada Ku lah
kembalimu.
Ingatlah
wahai rasul, pengajaran yang diberikan Luqman kepada anaknya, ketika dia
menyuruh anaknya untuk menyembah Allah sendiri, melarang mempersekutukan Allah
serta menerangkan bahwasanya syirik itu adalah suatu aniaya yang besar. Luqman
berkata :”wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah,
karena mempersekutukan Allah itu adalah suatu kezaliman yang besar. Tak ada
kezaliman yang lebih besar daripada ini.”
Kezaliman
ialah meletakkan suatu pada bukan tempatnya. Orang yang menyamakan makhluk
dengan Khalik, meyamakan berhala dengan Allah adalah orang yang menempatkan
sesuatu pada bukan tempatnya yang benar. Karenanya pantaslah dia dinamai
”zalim”.
Inilah
kedudukan ayah, yaitu memberi pengajaran kepada anak-anaknya dan menunjukkan
kepada mereka kebenrana serta menjauhkan mereka dari kebinasaan.
Kemudian
dalam ayat 14 dijelaskan bahwa Allah
memerintahkan manusia supaya berbakti kepada kedua ibu bapaknya, mentaatinya,
melaksanakan segala haknya.
Manusia
dikandung oleh ibunya dengan menderita kelemahan yang makin hari makin
bertambah berat. Sesudah berumurdua tahun barulah anak itu tidak lagi disusui
dan dalam mas adua tahun itu sang ibu menderita berbagai-bagai kesukaran yang
hanya Allah yang dapat memberi nilainya.
Dalam ayat
ini, Allah memerintahkan supaya berbuat baik kepada orang tua, tetapi disini
Allah hanya menerangkan sebab harus berbakti kepada ibu saja. Hal demikian
karena kesukaran yang diderita oleh ibu lebih besar dari yang diderita ayah. Derita
ibu adalah sejak dari dia mengandung, melahirkan dan menyusukannya sampai
berumur lebih kurang dua tahun. Karenanya Nabi menandaskan kepada orang yang
bertanya: ”siapakah yang lebih berhak menerima baktiku?”. Jawab Nabi: ”yang
lebih berhak menerima baktimu adalah ibu”. Tiga kali Nabi menekankan yang
demikian, barulah yang keempat nabi mengatakan ayahnya.
Sedangkan
dalam lafaz ”anisy kur lii wa li waalidaika” Allah menuyuruh anak agar
bersyukur kepada orang tua. Karena pada lahirnya, orangtualah yang menjadi
sebab kepada berwujudnya manusia itu dan karena orang tua telah menderita
berbagai kesukaran dalam mendidik dan mengasuh anaknya.
Sedangkan
menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah[11]dijelaskan bahwa ibunya telah mengandungnya dalam kelemahan yang
bertambah-tambah, lalu dia melahirkannya dengan susah payah, kemudian
memelihara dan menyusukannya setiap saat, bahkan ditengah malam, ketika saat
manusia lain tertidur nyenyak. Demikian hingga tiba masa menypikannya dan
penyapiannya di dalam dua tahun terhitung sejak hari kelahiran sang anak. Ini
jika orang tuanya ingin menyempurnakan penyusuan. Wasiat
HADIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN TEMA
Sabda Rasul SAW[12]:
Artinya :“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang
tuanya lah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi. (HR. Bukhari).
Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai
dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Islam telah
memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih
dalam kandungan . Jika anak sejak dini telah mendapatkan pendidikan Islam,
Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya
serta berbakti kepada orangtuanya. Dalam mendidik anak orang tua hendaknya
berperan sesuai dengan fungsinya. Masing-masing saling mendukung dan membantu.
Bila salah satu fungsi rusak, anak akan kehilangan identitas.
Para orang tua harus
meneladani Nabi Ibrahim AS dan Ya’qub AS yang senantiasa mewasiatkan anak-anaknya
tentang agama ini. "Sungguh Allah telah memilih bagimu agama ini, maka
janganlah sekali-kali kamu mati kecuali telah Islam secara benar"
(QS: Al Baqarah: 132). Dalam QS. Al Baqarah 133
disebutkan bahwa Nabi Ya'qub AS sangat memperhatikan aqidah anak-anaknya
apabila beliau wafat. Beliau menanyakan: "madzaa ta'buduuna
min ba'di" (Apa gerangan yang akan kamu sembah
setelah kematianku?).
Dasar-dasar
pendidikan anak dalam Islam dapat disimpulkan dari
berbagai ayat, antara lain QS: Luqman: 12 - 19 dan QS: As Shafaat: 102,
serta berbagai hadits Rasulullah SAW.
F. Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan dari beberapa tafsir diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran
tauhid bagi seorang anak sangat penting. Karena ajaran tauhid merupakan ajaran yang
paling kuat mendapatkan tekanan dalam Islam dan merupakan ajaran yang paling
esensial dan sentral dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad.
Sebagai
orang tua (ayah) harus memberikan pendidikan mengenai tauhid ini kepada anak
semenjak kecil, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya.
Berkat ajaran yang diberikan oleh Nabi Ibrahim tentang keEsaan Allah, anaknya
rela disemblih oleh bapaknya karena mentaati perintah dari Allah. Anaknya yakin
akan keesaan dan kekuasaan Allah sehingga dia rela menerima qadha dan qadar
allah.
G. Saran
Dalam
penulisan makalah ini, penulis yakin masih banyak terdapat kekurangan. Oleh
karena itu sangat diharapkan kritikan dan saran demi kesempurnaan makalah ini
dimasa yang akan datang.
KEPUSTAKAAN
Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam
Al-Mufaras.
Rasyidi,
Anwar. Tafsir Al-Maraghi. 1989. Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang
Hafizh Dasuli, dkk. Al-Quran
dan Tafsirnya, (Universitas Islam Indonesia). 1995. jilid VIII. Yogyakarta
: PT. Dana Bhakti Wakaf
Hasbi ash
Shiddiqy, Teungku Muhammad. Tafsir Al-Quranul Majid. 1995. Jakarta : CV.
Rizky Grafis
al-Mahalli
, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir Jalalain, jilid
2. 2006. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Shihab, M. Quraish. Tafsir
Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian al-quran. 2007. Jakarta : Lentera
Hati
Harahap, Syahrin, Ensiklopedi Aqidah Islam. 2003. Jakarta : Prenada Media
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia.
2002. Jakarta : Djambatan
[2]
Anwar Rasyidi, Tafsir Al-Maraghi, 1989, hal.126-130
[3]
Hafizh Dasuli, dkk. Al-Quran dan Tafsirnya, jilid VIII juz 22-24, 1995. hal,
317-319
[4]
Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqy, Tafsir Al-Quranul Majid, 1995,
hal.3358-3359
[5]
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain,
jilid 2, 2006, hal. 630-633
[6] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2007, hal.62-63
[7]
Syahrin Harahap, Ensiklopedi Aqidah Islam, 2003, hal, 430-433
[8]
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, 2002,
hal,1167-1168.
[9] Imam
Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, jilid 2,
2006, hal. 475-476
[10] Teungku
Muhammad Hasbi ash Shiddiqy, Tafsir Al-Quranul Majid, 1995, hal.3107-3113
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,
2007, hal.124-131
[12] http://ummusyauqy.wordpress.com/page/3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar