Oleh : Phalosa Aini
“Apa?
Dijodohkan?”
Aku nggak percaya
dengan apa yang dikatakan Ibu lewat telefon barusan. Kenapa Ibu harus menerima
lamaran lelaki itu tanpa menanyakan terlebih dahulu kepadaku. Bagaimana mungkin
aku menikah dengan orang yang tidak kukenal sama sekali. Pokoknya aku tidak
akan menikah dengan laki-laki pilihan orangtuaku. Tetapi hari ini sungguh
diluar kuasaku. Tiba-tiba Ibu menelfon dan menyuruhku pulang ke Batusangkar. Padahal
aku harus menunggu pengumuman kelulusan ujian skripsiku. Ah Ibu… kenapa harus
ada perjodohan. Akhirnya kuputuskan untuk cerita dengan sahabatku Andra. Anehnya
Andra menyetujui perjodohanku. Pupus sudah
harapanku memimpikan Andra menjadi suamiku.
Padang, 07:30 WIB
Huffhh…
akhirnya aku bisa duduk tenang di atas mobil ini. Mobil yang kutumpangi melaju
kencang seakan ada seseorang yang mengejarnya di belakang. Pikiranku melayang entah
kemana, memikirkan kata-kata Ibu semalam. Tidak terbayang suasana seperti apa
yang akan kuhadapi sesampai di rumah nanti. Aku layaknya seorang pesakitan yang
harus pasrah menunggu ajal. Sungguh aku tidak menginginkan perjodohan ini
tetapi aku tidak sanggup melihat wajah Ibu ketika aku menolak perjodohan ini.
Ya Tuhan aku harus bagaimana?
Batusangkar,
10.00 WIB
Aku
telah sampai di rumah kecilku. Aku tidak menemukan Ayah dan Ibu. Tetangga bilang
mereka pergi kenduri salah seorang keluargaku di Payakumbuh. Lalu aku
memutuskan untuk istirahat sambil menunggu mereka pulang sembari menyiapkan penolakanku
terhadap perjodohan ini.
Satu
jam berlalu, tanpa kusadari aku tertidur pulas. Aku tidak tahu pukul berapa Ayah
dan Ibu pulang dari Payakumbuh, yang jelas ketika ku terbangun, aku mendengar
suara mereka bercakap-cakap di ruang tengah. Lalu aku menghampiri mereka.
“Yah… Bu…” sapaku.
“Eh kamu Vid,” kata Ayah
sambil menoleh kepadaku.
Ibu menatapku tersenyum
dan menyuruhku duduk disebelahnya. Aku merasa aneh dengan senyum Ibu.
Sepertinya Ibu gembira sekali dengan kepulanganku dari Padang. Aku, Ayah dan Ibu
terlibat percakapan tentang perjodohan dengan pria asing yang akan menjadi
suamiku nanti.
“Pokoknya kamu harus
menikah dengan pria itu Nak, Ayah dan Ibumu tidak terima alasan yang kamu
berikan,” kata Ayah tegas.
“Tapi Yah,,,” ucapku
memelas.
“Tidak ada tapi-tapian,
acaranya sudah Ayah persiapkan. Dua minggu lagi kamu harus menikah dengan
laki-laki itu. Kamu harus percaya sama Ayah dan Ibu. Kami yakin kamu tidak akan
menyesal dengan perjodohan ini.” Lanjut Ayah.
Aku terduduk lemas
mendengar kata-kata Ayah.
***
Hari
ini hari penentuan masa depanku. Menikah dengan pilihan orangtua, serasa hidup
di zaman Siti Nurbaya. Legenda perjodohan di masa lampau. Aku hanya berharap
keajaiban akan datang disaat pernikahan nanti.
“Vid, buruan calon kamu
sudah datang Nak,” panggil Ibu dari luar kamar.
“Iya Bu,” jawabku
pelan.
Lalu
aku ke luar kamar. Undangan sudah ramai di ruang tengah. Bapak KUA sudah duduk
sambil berbicara dengan Ayah. Aku mengitari pandanganku ke seluruh ruangan
mencari tahu siapa calon suamiku. Deg. Mataku tertuju pada lelaki yang
berpenampilan layaknya seseorang yang akan menikah. Aku tidak percaya. Bukankah
dia Andra, sahabat sekaligus cinta terpendamku. Aku terkejut karena Ibu sudah
berada disampingku.
“Gimana,” tanya Ibuku.
Aku hanya mengangguk
sambil tersipu malu.
Kalau yang ini mah, aku
mau, Bu, jawabku dalam hati.
_ selesai_
Note: Salah satu tulisan ketika awal belajar menulis tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar