Resonansi Jiwa [6]
Memaafkan
Suatu
hari seorang pria yang telah banyak membuat kesalahan datang ke hadapan seorang
bijak dengan harapan ia bisa di beri petunjuk bagaimana memperbaiki semua
kesalahan-kesalahannya itu dan tidak mengulanginya lagi.
“Guru
saya mempunyai banyak dosa. Saya sering memfitnah, membohongi dan menggosipkan
orang lain dengan banyak hal-hal yang buruk. Saya sekarang menyesal dan ingin
memohon maaf lahir dan batin. Bagaimana caranya agar Tuhan dan mereka yang
telah saya sakiti itu mengampuni semua kesalahan saya.”
Mendengar
hal itu sang bijak berkata.
“Baiklah
kalau begitu tolong kau ambil bantal yang ada di tempat tidurku kemudian
bawalah ke alun-alun kota. Dan sesampai di sana bukalah bantal itu sampai
bulu-bulu ayam dan kapas yang ada di dalamnya keluar tertiup angin. Itulah
bentuk hukuman atas kata-kata jahat yang telah keluar dari mulutmu.”
Meski
kebingungan toh akhirnya ia menjalani hukuman yang diperintahkan kepadanya. Di alun-alun
ia membuka bantal dan dalam sekejap bulu ayam dan kapas beterbangan tertiup
angin. Setelah selesai melakukan hukuman itu ia kembali menghadap sang bijak
dan bertanya.
“Saya
telah melakukan apa yang guru perintahkan, apakah itu berarti sekarang saya
sudah diampuni guru?”
Bapak
tua yang bijak menggelengkan kepala dan berkata.
Kamu
belum dapat pengampunan, kamu baru menjalankan separuh hukumanmu. Kini
kembalilah ke alun-alun dan pungutlah kembali bulu-bulu ayam yang tadi
beterbangan tertiup angin.
#Summary
Kawan.
Tidak peduli berapa kali kita memohon maaf. Kata-kata yang keluar dari mulut
kita akan menggema selamanya. Memang sebuah permintaan maaf bisa mengobati
banyak hati. Namun agaknya kita juga harus mengingat bahwa semuanya itu tidak
akan ada artinya saat kita mengulanginya kembali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar