My Short Story
PERTENGKARAN TERAKHIR DENGAN PEREZ
Oleh : Phalosa Aini
Untuk kesekian kalinya pertengkaran ini menjadi headline diariku. Ya, pertengkaranku dengannya.
Perez,
begitulah aku memanggil namanya. Sosok yang selama tiga tahun terakhir
ini menjadi tempat berbagi di kala gundah. Dia selalu setia mendengarkan
setiap keluh kesahku. Dan telah tiga tahun juga dia menempati kamarku.
Menjadi teman sekaligus sahabat yang setia menemani kemana aku hendak
pergi. Menikmati senja dan mengabadikannya dalam kameraku. Hasil
potretanku dengannya selalu menjadi penghias diary dan dinding kamarku.
Dia
sangat pemalu. Apalagi terhadap teman-teman baruku. Dia selalu
menampakkan sikap termanisnya. Tetapi, tidak jarang juga dia bersikap
berani. Seperti yang terjadi semalam.
Ketika
amarah telah melingkupi hati. Aku selalu mencoba bersabar
menghadapinya. Namun ketika semuanya tidak terkendali dan melibatkan
emosi. Perez tidak lagi sosok pemalu yang ku kenal. Bahkan tidak segan
dia mencakarku dengan kukunya yang panjang. Adu jotos denganku. Tidak
peduli seisi kamar kami berantakan.
Sekarang,
aku hanya bisa mengenangnya dalam potretan. Karena Subuh tadi Perez,
kucing mungilku ditabrak pengendara sepeda motor. Dia tewas di tempat.
Selamat jalan sahabatku, Perez.
Innalillahi…
aku tidak cengeng
“Kenapa matamu sembab? Menangis lagi?”
Aku hanya terdiam menanggapi pertanyaan Joe. Karena memang aku tidak punya jawaban untuk berkilah menutupi kecengenganku.
“Ayolah, sampai kapan kau akan menangisi penderitaan ini? Semuanya tidak akan berubah walau kau harus menangis darah!”
“Aku tahu,” jawabku pendek.
“Nah, buat apa lagi coba kau membuang air matamu itu?”
Aku hanya tersenyum getir. Laki-laki memang berbeda dengan wanita. Ketika permasalahan menghadirkan tangisan. Lelaki lebih memilih menjalankan logikanya. Tidak ada yang perlu ditangisi. Toh semuanya tidak bisa berubah meski telah menguras air mata.
“Yah, aku setuju denganmu. Tidak ada gunanya menangis. Tapi salahkah aku, ketika dia datang tiba-tiba, mengalir lembut di pipiku? Ini menyangkut perasaan karena aku terlahir sebagai wanita. Dan aku percaya setelah hujan air mata ini reda semuanya akan terasa lebih bermakna. Pikiranku kembali jernih seiring turunnya hujan di pipiku.”
“Baiklah, jika itu akan menenangkan hatimu. Menangislah di pundakku hingga kau rasakan damai menyertai hatimu.”
Kamar sunyi, 01112012
Aku hanya terdiam menanggapi pertanyaan Joe. Karena memang aku tidak punya jawaban untuk berkilah menutupi kecengenganku.
“Ayolah, sampai kapan kau akan menangisi penderitaan ini? Semuanya tidak akan berubah walau kau harus menangis darah!”
“Aku tahu,” jawabku pendek.
“Nah, buat apa lagi coba kau membuang air matamu itu?”
Aku hanya tersenyum getir. Laki-laki memang berbeda dengan wanita. Ketika permasalahan menghadirkan tangisan. Lelaki lebih memilih menjalankan logikanya. Tidak ada yang perlu ditangisi. Toh semuanya tidak bisa berubah meski telah menguras air mata.
“Yah, aku setuju denganmu. Tidak ada gunanya menangis. Tapi salahkah aku, ketika dia datang tiba-tiba, mengalir lembut di pipiku? Ini menyangkut perasaan karena aku terlahir sebagai wanita. Dan aku percaya setelah hujan air mata ini reda semuanya akan terasa lebih bermakna. Pikiranku kembali jernih seiring turunnya hujan di pipiku.”
“Baiklah, jika itu akan menenangkan hatimu. Menangislah di pundakku hingga kau rasakan damai menyertai hatimu.”
Kamar sunyi, 01112012
Luv u, Mom
"Kamu kenapa?" tanya ibu padaku.
Aku hanya menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Airmataku mengalir tanpa henti.
dadaku seolah-olah mau meledak. Aku tidak tahu kenapa aku menangis.
Akhirnya, suara kokokan ayam diiringi adzan dari Mesjid seberang membangunkanku.
Semuanya serasa nyata. Rasanya dadaku sakit sekali.
Tak ayal pikiranku langsung tertuju kepada ibu. Ada apa dengan Ibu?
Aku segera bangkit untuk berwudhu dan menunaikan shalat Subuh. Berharap tidak terjadi apa-apa.
Usai shalat Subuh, kuputuskan menelepon ibu di kampung.
"Assalamu'alaikum," ujar suara di seberang.
Ternyata adikku Fahra yang menerima telepon.
“Ada apa Kak?” ujarnya.
“Ibu mana,” tanyaku
“Ibu sedang shalat.”
“O ya sudah, nanti kakak telfon lagi,” ujarku sambil menutup telfon.
Hatiku masih resah. Semoga ibu baik-baik saja.
Selang beberapa waktu. Ibu meneleponku.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,” jawab ibuku.
“Ada apa nduk? Pagi-pagi sudah nelfon?”
“Gak ada apa-apa kok bu, ibu sehat?” Tanyaku tidak sabaran.
“Ibu kurang sehat, sakit pinggang ibu kambuh lagi,” jawab ibu.
Aku tersedak. Bulir-bulir bening yang tertahan di mimpi semalam serasa mau menetes.
Ku tarik nafas dalam-dalam agar suaraku tidak berat.
Aku tidak mau mengkhawatirkan ibu.
Akhir-akhir ini banyak persoalan yang menambah beban pikiran ibu.
Dan aku tidak ingin hidupku menjadi beban bagi ibu.
“Bawa berobat Bu, nanti nambah parah,” saranku.
“Iya, tiga hari yang lalu ibu sudah pergi kok, tapi kemaren pekerjaan ibu berat sekali, ya kambuh lagi.”
Semakin miris aku mendengarnya.
“Kamu tidak pulang nduk?” Lanjut ibu.
“Nggak Bu, belum sempat pulang.” Jawabku singkat.
Aku tidak kuasa melanjutkan kata-kataku.
“Ya, sudah. Jaga kesehatan ya, jangan begadang, makan yang teratur,” nasehat ibu padaku.
“Ya, Bu,”
Kemudian ibu mengucap salam sambil menutup telfon.
Maafkan aku ibu belum menjadi anak yang berbakti untukmu, lirihku.
Ibu tahu aku sering begadang demi menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku.
Bahkan aku sempat menderita magg karena keasyikan bekerja hingga telat makan.
Ibu sangat sayang padaku. Bagiku, ibu adalah Hero.
Pahlawan yang selalu ada di saat aku membutuhkannya.
Aku hanya mampu melantunkan doa untuk ibu tersayang semoga ibu selalu dalam penjagaanNya.
Amin
*semoga ibuku segera sembuh Rabb
Aku hanya menangis tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Airmataku mengalir tanpa henti.
dadaku seolah-olah mau meledak. Aku tidak tahu kenapa aku menangis.
Akhirnya, suara kokokan ayam diiringi adzan dari Mesjid seberang membangunkanku.
Semuanya serasa nyata. Rasanya dadaku sakit sekali.
Tak ayal pikiranku langsung tertuju kepada ibu. Ada apa dengan Ibu?
Aku segera bangkit untuk berwudhu dan menunaikan shalat Subuh. Berharap tidak terjadi apa-apa.
Usai shalat Subuh, kuputuskan menelepon ibu di kampung.
"Assalamu'alaikum," ujar suara di seberang.
Ternyata adikku Fahra yang menerima telepon.
“Ada apa Kak?” ujarnya.
“Ibu mana,” tanyaku
“Ibu sedang shalat.”
“O ya sudah, nanti kakak telfon lagi,” ujarku sambil menutup telfon.
Hatiku masih resah. Semoga ibu baik-baik saja.
Selang beberapa waktu. Ibu meneleponku.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikum salam,” jawab ibuku.
“Ada apa nduk? Pagi-pagi sudah nelfon?”
“Gak ada apa-apa kok bu, ibu sehat?” Tanyaku tidak sabaran.
“Ibu kurang sehat, sakit pinggang ibu kambuh lagi,” jawab ibu.
Aku tersedak. Bulir-bulir bening yang tertahan di mimpi semalam serasa mau menetes.
Ku tarik nafas dalam-dalam agar suaraku tidak berat.
Aku tidak mau mengkhawatirkan ibu.
Akhir-akhir ini banyak persoalan yang menambah beban pikiran ibu.
Dan aku tidak ingin hidupku menjadi beban bagi ibu.
“Bawa berobat Bu, nanti nambah parah,” saranku.
“Iya, tiga hari yang lalu ibu sudah pergi kok, tapi kemaren pekerjaan ibu berat sekali, ya kambuh lagi.”
Semakin miris aku mendengarnya.
“Kamu tidak pulang nduk?” Lanjut ibu.
“Nggak Bu, belum sempat pulang.” Jawabku singkat.
Aku tidak kuasa melanjutkan kata-kataku.
“Ya, sudah. Jaga kesehatan ya, jangan begadang, makan yang teratur,” nasehat ibu padaku.
“Ya, Bu,”
Kemudian ibu mengucap salam sambil menutup telfon.
Maafkan aku ibu belum menjadi anak yang berbakti untukmu, lirihku.
Ibu tahu aku sering begadang demi menyelesaikan pekerjaan-pekerjaanku.
Bahkan aku sempat menderita magg karena keasyikan bekerja hingga telat makan.
Ibu sangat sayang padaku. Bagiku, ibu adalah Hero.
Pahlawan yang selalu ada di saat aku membutuhkannya.
Aku hanya mampu melantunkan doa untuk ibu tersayang semoga ibu selalu dalam penjagaanNya.
Amin
*semoga ibuku segera sembuh Rabb
PERCERAIAN BERUJUNG MAUT
“Aaghh, ga penting,” geram Brain.
Ketika
membaca surat dari mamanya yang dititipkan lewat adik mamanya, Tante
Fika. Entah apa yang disampaikan mamanya lewat surat itu. Tampaknya dia
kesal sambil meremas surat tersebut dan melemparkannya ke keranjang
sampah yang tidak jauh dari meja makan tempat Brain duduk.
Kasihan,
Semenjak perceraian papa dan mamanya. Brain sering uring-uringan. Dia
jarang di rumah. Pulang ke rumah selalu larut malam. Tampangnya semakin
urak-urakan. Dia lebih banyak diam. Kalau ditanya lebih cendrung diam,
jika terpaksa menjawab itupun dengan nada tinggi. Matanya memerah
seperti orang kesurupan.
Tantenya
pun kewalahan bagaimana menghadapi keponakan kesayangannya itu. Karena
kata-kata yang terlontar dari mulut Brain selalu kasar. Tidak tersisa
lagi kesantunan yang dimiliki Brain selama ini. Seperti yang terjadi
pagi itu, ketika tantenya mengingatkan dia untuk pergi sekolah. Brain
tidak menghiraukan sedikitpun ucapan tantenya. Malah dia marah-marah dan
membanting pintu kamarnya.
Semenjak
kejadian itu, tantenya tidak bisa banyak omong. Dan terpaksa urut dada
melihat tingkah Brain yang semakin hari semakin aneh dan bikin pusing
kepala. Bahkan akhir-akhir ini Brain sering bolos sekolah. Tidak jarang
dia keluar rumah pagi-pagi tanpa seragam sekolah, lalu pulang ke rumah
sudah dini hari. Kemudian masuk kamar langsung terkapar dan bangun esok
hari dengan wajah kusut. Entah apa yang dia lakukan diluar sana.
Suatu
pagi, ketika tantenya sarapan, Brain menghampiri tantenya. Lalu duduk
bersebrangan dengan tantenya dan mengambil segelas air putih kemudian
meminumnya seperti orang yang kehausan. Tantenya menatap Brain penuh
selidik. Apa yang dilakukan Brain sebenarnya. Kenapa penampilan
keponakan kesayangannya itu semakin hari semakin mengkhawatirkan. Tante
Fika sangat mencemaskan Brain.
***
Hari
ini adalah hari kelima Brain tidak masuk sekolah. Orang tuanya tidak
peduli sedikitpun dengan kondisi Brain saat ini. Papanya telah pulang
kerumah orang tuanya di Yogya. Mamanya pun menenangkan diri ke
kampungnya di Padang. Sedangkan Brain ditinggalkan dengan Tante Fika di
Jakarta.
Perceraian
orangtuanya membawa dampak buruk terhadap perkembangan jiwa Brain.
Kadang dia suka mengurung diri seharian di kamar. Tantenya khawatir,
melihat perubahan Brain sangat drastis. Akhirnya timbul ide Tante Fika
untuk menyelidiki apa yang dilakukan Brain selama seharian diluar rumah.
Tante Fika menghubungi teman Brain yang selama ini sering
main kerumahnya. Tante Fika ingat dengan sahabat Brain, Jake. Tante Fika
berniat menghubungi Jake dan mencari tahu bagaimana perkembangan Jake
selama beberapa hari ini. Untung nomor handphone Jake ada di phone book
di kamar Brain. Lalu Tante Fika menekan nomor handphone Jake. Dengan
harap-harap cemas Tante Fika menunggu seseorang mengangkat telfonnya.
Akhirnya dari sebrang sana terdengar suara anak laki-laki menjawab
telfon Tante Fika.
“Hallo, Assalamu’alaikum,” suara Jake menjawab telfon Tante Fika.
“Ya hallo, Wa’alaikum salam, maaf bisa bicara dengan Jake?”
“Ya ini Jake, maaf ini siapa ya?” jawab Jake.
“Ini Tante Fika Jake, tantenya Brain,” sahut Tante Fika.
“Ooo, Tante Fika. Ada apa Tan, ada yang bisa Jake bantu?” tanya Jake.
Lalu
Tante Fika dan Jake terlibat percakapan serius mengenai Brain. Setengah
jam berlalu, Tante Fika menemukan setitik cahaya terang tentang Brain.
Jake mengusulkan untuk mengikuti dan memata-matai Brain. Aksi
penyelidikan dimulai esok hari. Kebetulan besok hari Minggu, jadi Jake
punya banyak waktu membantu Tante Fika untuk memata-matai Brain.
“Ya
Allah semoga rencanaku esok hari berjalan dengan lancar, Semoga tidak
terjadi apa-apa dengan keponakanku,” gumam Tante Fika dalam hati.
Malam
itu Tante Fika tidak bisa tidur, dia penasaran dengan kegiatan
ponakannya itu. Dia mencemaskan kalau-kalau ponakannya terlibat narkoba. Ah moga-moga saja tidak.
***
Pukul
lima pagi Tante Fika telah bangun, sehabis shalat subuh Tante Fika
membereskan rumah. Dan bersiap-siap untuk misinya dengan Jake hari ini.
Sambil membaca-baca majalah Tante Fika menunggu Brain bangun tidur,
kemudian menghubungi Jake untuk bersiap-siap memulai misi hari itu.
Bosan juga nungguin Brain bangun, hampir Tante Fika terserang kantuk
berat, tapi Tante Fika berusaha menahannya.
Beberapa menit kemudian akhirnya Brain keluar dari kamar. Tante Fika pura-pura membaca majalah. Lalu Brain
keluar rumah dan pergi dengan sepeda motornya. Tante Fika langsung
menghubungi Jake. Setelah itu Jake sudah didepan rumah Tante Fika,
ternyata Jake sudah menunggu-nunggu informasi dari Tante Fika dari jam
tujuh pagi. Dia menunggu tidak jauh dari rumah Brain. Agar bisa bergerak
cepat setelah menerima telfon dari Tante Fika. Langsung saja mereka
berangkat menjalankan misinya. Mereka hati-hati sekali karena takut
ketahuan oleh Brain.
Lima
belas menit perjalanan. Tiba-tiba dari kejauhan Brain memberhentikan
sepeda motornya di depan sebuah kios handphone. Kemudian dia menyusuri
gang kecil di sebelah kios tadi. Kami terus mengikutinya. Tiba-tiba
Brain masuk ke sebuah rumah kecil yang disambut oleh beberapa laki-laki
yang berpenampilan seperti preman. Astaghfirullah, Tante Fika dan Jake
terkejut melihat pemandangan tersebut. Habis itu tidak ada lagi
aktivitas diluar rumah tersebut. Tante Fika memutuskan untuk
menungguinya, Jake terpaksa nurut karena dia tidak tega melihat Tante
Fika sendirian.
Tante
Fika mempunyai firasat buruk tentang ponakannya, tapi dia tepis
pemikiran tersebut berharap Brain tidak apa-apa. Sudah dua jam Tante
Fika dan Jake menunggu tetapi tidak ada tanda-tanda dari rumah tersebut.
Lalu Tante Fika memutuskan untuk bertanya ke warga sekitar rumah
tersebut. Kebetulan ada seorang bapak-bapak lewat dekat kami, lalu Tante
Fika bicara dengan bapak-bapak tersebut.
Setelah
itu Tante Fika terduduk lemas. Jake terkejut. Apa yang dikatakan bapak
tadi sehingga Tante Fika kelihatan cemas sekali. Lalu Jake menghampiri
Tante Fika dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. Tante Fika bicara
dengan terbata-bata. Jake penasaran sampai Tante Fika selesai
menceritakan apa yang dikatakan bapak-bapak yang bicara dengan Tante
Fika tadi. Jake terkejut mendengar penjelasan Tante Fika. Ternyata rumah
kecil yang kami tunggui dari tadi adalah tempat perkumpulan
preman-preman di daerah itu. Mereka semuanya pengedar narkoba. Tidak
satupun warga berani mengadukan ke pihak yang berwajib. Karena mereka
tidak ingin kehidupan keluarganya terancam. Perkumpulan mereka sangat
besar. Mereka juga tidak segan-segan untuk menghabisi nyawa orang yang
membangkang kepadanya. Ternyata hal itu yang membuat Tante Fika
khawatir. Jake tidak habis pikir kenapa Brain bisa masuk ke lingkungan
tersebut.
Akhirnya
tanpa pikir panjang Tante Fika menghubungi salah satu temannya yang
polisi dan kebetulan juga dinas di daerah tersebut. Lama sekali Tante
Fika bicara dengan temannya itu. Tampaknya Tante Fika sangat khawatir
sekali. Lima belas menit kemudian Tante Fika mematikan handphonenya.
Lalu dia mendekati Jake dan berbicara kepada Jake dengan suara
dipelankan karena Tante Fika tidak ingin seorang pun mendengar pembicaraan mereka.
Tante
Fika memberitahu Jake bahwa orang-orang di rumah tersebut adalah
buronan polisi. Tetapi mereka sangat hebat, setiap kali beraksi selalu
lolos dari kejaran polisi. Mereka bandar narkoba yang masuk dalam salah
satu daftar buronan polisi. Dan sekarang teman Tante Fika itu akan
melakukan penggrebekan. Jadi kita harus menjauh dari lokasi ini. Kita
melakukakn pengintipan dari kejauhan kata Tante Fika mennggakhiri pembicaraannya dengan Jake, sambil berlalu dari tempat itu.
Beberapa
menit kemudian kami telah melihat dua mobil Jeep hitam berhenti dekat
parkir mobil kami tadi. Itu teman Tante Fika yang dihubunginya tadi.
Dengan harap-harap cemas Tante Fika menunggu aksi temannya itu. Setengah
jam berlalu, tiba-tiba handphone Tante Fika berdering.
“Ya hallo”, jawab Tante Fika.
“Apa?
Over dosis?” Tante Fika terkejut mendengar suara dari sebrang sana.
Menurut teman Tante Fika Brain over dosis dan nyawanya tidak bisa
diselamatkan. Jasadnya telah dibawa ke rumah sakit untuk di autopsi.
Tante Fika menarik nafas panjang mendengar berita itu. Apa yang
dikhawatirkannya selama ini memang benar terjadi. Kasihan kau nak, gumam
Tante Fika.
***
Sore
ini dipemakaman. Cuaca tidak begitu bersahabat. Mendung diselimuti
awan-awan hitam. Persis dengan yang dialami keluarga Brain. Mama Brain
tersimpuh disamping pemakaman anaknya. Menangis terisak-isak menyesali
kejadian beberapa minggu yang lalu. Seandainya perceraian itu tidak
terjadi, mungkin Brain masih bersama mereka disini. Papa Brain juga
tampak menyesal. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Nasi telah menjadi
bubur.
Akhirnya
satu persatu para pelayat meninggalkan pemakaman. Tinggal Mama dan Papa
Brain yang masih membisu menatap onggokan tanah merah didepan mereka.
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar