Jumat, 06 Januari 2017

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt


Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomba Menulis Esai, lomba ini diselenggarakan oleh salah satu partai politik di Indonesia. Partai tersebut adalah PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Adapun untuk hadiah yang disediakan dalam lomba ini totalnya 80 Juta.

Tema yang besar yang adalah sebagai berikut:
Kebangsaan
Pilihan tema yang bisa dilakukan kepada para peminat lomba menulis, diantranya:
  • Islam dan Patriotisme Kebangsaan: Tantangan untuk generasi muda
  • Spirit Agama Sebagai Fundamental Wawasan Nasionalisme Indonesia
  • Menumbuhkan Semangat Nasionalisme religius Pemuda Indonesia
  • Nilai Ketuhanan sebagai Landasan Perbaikan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
  • Perwujudan cita-cita Islam dalam Kebersamaan Kebangsaan
  • Menggali nilai sosial Islam dalam pembangunan kerakyatan
  • Semangat Islam dalam Sejarah Nasional Indonesia
  • Spirit Islam, Nasionalisme dan Modernitas
  •  Menggali Akar Kehidupan religius di Nusantara Pesantren dan
  • Wawasan Kebangsaan Indonesia
Perlu sebelumnya diketahaui bahwa lomba menulis dari PKS dengan tema kebangsaan ini dibagi 5 Kategori, yang masing-masing memiliki ketentuan. Adapun untuk syarat dana ketentuan umum dalam lomba ini adalah sebagai berikut:

Syarat dan Ketentuan Lomba

  • Peserta lomba adalah WNI (Warga Negara Indonesia)
  • Peserta lomba untuk kategori siswa SMU atau sederajat yang berdomisili di seluruh wilayah Indonesia
  • Peserta lomba untuk pelajar SMA/Sederjat wajib dibuktikan dengan Kartu Tanda Pelajar yang berlaku).
  •  Mahasiswa Indonesia yang kuliah di perguruan tinggi
  • Kategori mahasiswa wajib untuk dibuktikan dengan Kartu Tanda Mahasiswa yang berlaku
  • Setiap peserta hanya boleh mengirimkan satu karya, tidak boleh lebih dari satu karya
  • Panitia yang dari Fraksi DPP PKS yang terlibat langsung dalam kegiatan ini dilarang mengikuti lomba
  • Tulisan yang diajukan dalam Lomba Penulisan bertema Kebangsaan 2017 FPKS DPR RI adalah tulisan asli (no plagiarisme)
  • Karya lomba yang diikutsertakan juga belum pernah menjadi juara
  • Jenis tulisan adalah esai populer
  • Panjang tulisan minimal terdiri dari 1500 sampai 2000 kata
  • Pengiriman tulisan dibuka tanggal 8 Desember 2016 dan ditutup tanggal 28 Februari 2017 Pk. 24.00 WIB.
  • Tulisan wajib untuk mulisan menggunakan Bahasa Indonesia yang sesuai dengan EYD
  • Tulisan g diikutsertakan dalam lomba dikirim melalui alamat email sesuai kategori yang dipilih.
    a. esaipelajar.fpks@gmail.com
    b. esaimahasiswa.fpks@gmail.com
    c. esaiumum.fpks@gmail.com
    d. esaibunda.fpks@gmail.com
    e. esaiwartawan.fpks@gmail.com

Kategori dalam Lomba

1. Kategori Pelajar. Siswa SMA, Madrasah Aliyah, Pesantren atau Sederajat.
2. Kategori Mahasiswa (Sedang Menempuh S1)
3. Kategori Umum Lulusan S1, S2, S3 & Masyarakat Umum
4. Kategori Ibu Rumah Tangga
5. Kategori Wartawan

Hadiah yang disedikan oleh panitia, sesuai dengan kategori. Dimana setiap kategori akan mendapatkan hadiah sebagai berikut:

JUARA 1 Rp 7.500.000
JUARA 2 Rp 5.000.000
JUARA 3 Rp 3.500.000
E-CERTICIFATE untuk seluruh peserta

Pengumuman pemenang lomba akan dilakukan pada 20 April 2017 (menyesuaikan dengan syukuran Milad PKS ke 19). Lomba akan diumumkan melalui media cetak elektronik dan media social untuk lebih jelasnya tentang lomba ini silahkan dapat menghubungi Kak Niken 085228002986


sumber => http://www.lomba.or.id/2016/12/lomba-menulis-dari-fpks-dpr-ri-hadiah.html

Kamis, 05 Januari 2017

Oppa, tonajima



Oppa, tonajima
(Kakak, Jangan Tinggalkan Aku)


“Oppa Saranghae, imal hatjima[1],” ujar Eun Woo kepada Shandi.

Shandi hanya menanggapi dengan senyum ucapan Lee Eun Woo yang asyik bermain Tuho. Tuho adalah permainan tradisional dari Korea yang dimainkan dengan cara melemparkan anak panah atau tongkat yang panjang ke dalam sebuah tempayan atau lobang dari jarak yang jauh. Lee Eun Woo sering menghabiskan waktu luangnya bersama Shandi bermain Tuho. Selain itu mereka juga sering menikmati senjanya dengan makan  Jajangmyeon[2] berdua.

Eun telah lama mengenal Shandi. Waktu itu umurnya baru dua belas tahun. Shandi datang ke perusahaan anggur Ayah Eun untuk melamar pekerjaan. Eun yang tergila-gila dengan aktor korea Kim Bum kontan kaget melihat Shandi. Dia langsung histeris karena wajah Shandi mirip banget dengan Kim Bum. Alhasil, Eun merengek-rengek kepada ayahnya agar menerima Shandi bekerja disana. Ayah Eun yang melihat tingkah putrinya langsung menyuruh Shandi datang esok hari dan mulai bekerja disana. Semenjak hari itu Eun mulai mendekati Shandi dan diam-diam jatuh hati padanya. Shandi yang menyadari diperhatikan Eun membuka peluang lebar-lebar agar mereka sering bersama. Shandi menganggap Eun seperti adiknya sendiri. Sebenarnya Shandi melakukan itu karena permintaan Ayah Eun sekaligus atasannya. Ayah Eun tidak pernah melihat putrinya sebahagia ketika ia bertemu Shandi pertama kalinya. Shandi juga tidak keberatan melakukannya selama pekerjaannya aman terkendali.

Shandi bekerja paruh waktu di perusahaan Ayah Eun Woo. Ayah Eun sangat bangga padanya bahkan dia telah dianggap seperti anak sendiri. Shandi sangat menyayangi dan menganggap Eun Woo seperti adik kandungnya sendiri. Namun berbeda dengan Eun Woo. Dia mengharapkan suatu saat nanti dia bisa menikah dengan Shandi. Shandi tidak menyadari perasaan yang berbeda dari Eun Woo kepadanya. Dia memberikan perhatian sepenuhnya kepada Eun Woo layaknya seorang kakak. Namun Eun Woo mencoba menarik perhatian Shandi dengan sikap yang berbeda. Meski belum menampakkan secercah harapan Eun Woo akan terus berjuang mendapatkan hati Shandi. Dia yakin Shandi mau menganggap dirinya sebagai pacar bukan sebagai adik lagi.

Dua minggu setelah Eun mengatakan dia mencintai Shandi, Shandi menerima surat panggilan tes kesehatan untuk mengikuti wajib militer. Wajib militer adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap warga negara Korea khususnya laki-laki yang punya kesehatan fisik, mental dan spiritual yang bagus. Pokoknya bukan penyandang cacat atau punya kelainan jiwa. Termasuk Shandi salah satu diantaranya. Shandi siap menjalani karantina, menerima pelatihan ketentaraan selama dua tahun. Berbeda dengan Eun Woo yang tidak siap dengan kepergian Shandi.

“Oppa, tidak bisakah kau mengundur kepergianmu? Siapa yang akan menemaniku disini? Kesendirian ini sungguh menyakitkan bagiku, Oppa,”

Hening.

“Oppa, kenapa kamu diam atau memang ini yang kamu inginkan?” lanjut Eun.

Rentetan pertanyaan menghujam Shandi. Shandi merangkul Eun Woo lalu mencium dahi Eun Woo. Dia tahu bagaimana perasaan Eun Woo jika ia pergi karena tak seorangpun yang paham dengan kebiasaannya. Eun Woo akan merasa kehilangan selama ia dikarantina. Eun Woo telah terbiasa dengan kehadiran Shandi disampingnya namun Shandi tidak bisa mengelak dari panggilan ini.

Mianhae[3], aku tidak bisa menolak panggilan ini. Aku janji akan kembali,” ujarnya lirih.
Oppa, tonajima,”[4] isak Eun Woo dalam pelukan Shandi.
Mianhae.

Detik-detik perpisahan terasa menyakitkan bagi Eun Woo dan Shandi namun mereka tidak punya pilihan lain.
***
Satu setengah tahun berlalu, kepergian Shandi menyisakan sepi yang tak berpenghujung. Mendung sepertinya hendak terus menggantung di sepasang mata Eun Woo. Lelah dalam gundah. Menunggu penantian yang kian detik kian menyakitkan.

Berbeda dengan Eun Woo, Shandi mulai melupakan Eun Woo untuk sementara waktu. Disebabkan karena latihan yang begitu ketat dan tak memberi ruang untuk memikirkan bagaimana keadaan Eun Woo. Hari-hari dilewatinya dengan latihan demi latihan.

Seiring bergulirnya waktu, sekarang Eun Woo hampir terbiasa tanpa Shandi di sisinya. Ditambah baru-baru ini dia mempunyai teman untuk menepis rindunya pada Shandi. Song Hyun Soo, salah seorang mahasiswa yang bekerja paruh waktu di perusahaan ayah Eun Woo. Anaknya manis, mudah diajak bicara dan pintar bergaul. Dia juga penyayang seperti Shandi. Usianya pun hampir sebaya dengan Shandi.

Song sering menemani Eun mengusir sepinya sembari melepaskan lelahnya bekerja. Song juga sering menemani Eun bermain Tuho. Kelincahan Song bermain mengingatkan Eun pada sosok Shandi yang sering menemaninya bermain semenjak kecil. Suatu ketika, tanpa disadarinya bulir-bulir bening itu mengalir di pipinya saat bermain dengan Song. Song yang secara tidak sengaja melihat Eun menangis langsung menghentikan permainannya.

“Kenapa kamu menangis Eun? Adakah suatu hal yang membuatmu bersedih hari ini?” ujar Song menghampiri Eun.

“Aku teringat Oppa, aku sangat merindukannya, semenjak dia pergi satu setengah tahun yang lalu untuk wajib militer. Aku sangat menyayangi dia Eonni. Sebelum kedatangan Eonni aku sangat kesepian karena tidak yang bisa menemani hari-hariku. Selama ini Oppa selalu ada saat aku butuh.”

“Hmm… kamu tidak boleh sedih. Bukankah dia pergi untuk kembali. Ayo sekarang tidak boleh nangis lagi,” ujar Song menyemangati Eun dan menghapus air mata Eun. Eun pun tersenyum kembali.

“Yah, sekarang aku punya Eonni. Aku tidak boleh sedih lagi. Chayyo…” sambut Eun tidak kalah semangat.

Mereka lalu berpelukan sambil tersenyum. Lalu Eun mengajak Song makan Jajangmyeon karena perutnya dari tadi terasa sangat lapar. Song langsung menyetujuinya karena Jajangmyeon juga salah satu makanan kesukaannya.

“Wah… Eonni punya kesamaan selera juga dengan Oppa. Jajangmyeon  juga makanan favorit Oppa. Oppa sering mengajakku makan bersama sehabis bekerja. Aku tidak sabaran menunggu Oppa pulang, aku janji akan mengenalkan Oppa kepada Eonni. Kalian pasti akan sangat akrab. Aku semakin senang punya Eonni dan Oppa,” ujar Eun panjang lebar.

Song menanggapinya dengan senyum. Dia geleng-geleng kepala melihat tingkah Eun yang bahagia layaknya anak kecil mendapat mainan baru. Mereka menikmati suasana senja dengan bersukacita. Terlebih Eun yang sangat senang karena kerinduannya kepada Shandi sedikit terobati dengan kehadiran Song.

Hari berlalu begitu cepat. Seminggu lagi Januari akan berakhir. Gurat kesedihan di mata Eun kini mulai hilang digantikan dengan sinaran bahagia. Terlebih setelah Eun menerima sepucuk surat dari Shandi. Dia mengabarkan bahwa tanggal dua Februari nanti dia akan pulang karena masa latihannya telah genap dua tahun. Eun baru ingat kalau tanggal dua Februari adalah ulang tahun Shandi. Dia berencana akan membuat pesta kejutan untuk Shandi sambil menyambut kedatangan Shandi nantinya. Niat Eun diutarakan kepada ayahnya yang langsung menyetujui rencana putri semata wayangnya. Bahkan Ayah Eun menyuruh Song agar terlibat dalam pesta ulang tahun sekaligus penyambutan Shandi. Song dengan senang hati menyanggupi permintaan ayah Eun. Sebenarnya Song tidak merasakan suasana perusahaan di tempat Eun terlebih ayah Eun yang perhatian padanya. Ayah Eun memang baik, dia menganggap orang-orang terdekat Eun seperti anaknya sendiri. Sehingga Song merasa nyaman tinggal di tempat Eun.

Eun dan Song mulai merancang acara penyambutan untuk Shandi. Song berusaha membantu Eun semaksimal mungkin karena Eun sangat merindukan detik-detik perjumpaan dengan Shandi. Meski Song tidak mengetahui seluruhnya tentang Oppa yang selalu dibanggakan Eun. Yang terpenting laki-laki itu sangat berarti buat Eun. Song tidak ingin membuat Eun kecewa dengan pesta itu. Selama satu minggu Eun dan Song sibuk dengan persiapan pesta. Sekarang persiapan telah 100 % selesai, tinggal Eun yang menghitung jam perjumpaan dengan orang yang dirindukannya. Malamnya mata Eun tidak bisa terpejam. Gelisah menggerayangi jiwanya yang dirasuki kerinduan. Dini hari barulah kantuk mendera.

Keesokan harinya.
Hari ini detik-detik menjelang kepulangan Shandi dari wajib militernya. Di depan gerbang telah bertuliskan ucapan eoseo wa[5]. Didalam rumah, Eun, Song dan Ayah Eun menunggu dengan harap-harap cemas. Tidak lama kemudian datang seorang pekerja di rumah Eun memberitahukan bahwa Shandi telah datang. Terlihatlah sinar kebahagiaan di wajah mereka terlebih Eun yang bersorak karena kelewat gembira. Ketika itu terdengarlah ketukan dari depan pintu. Mereka terdiam sejenak kemudian serentak menyuruh orang yang diluar masuk. Ketika itu masuklah Shandi ke dalam rumah. Melihat keadaan didalam rumah, Shandi cukup terkejut dengan sambutan keluarga Eun. Seketika itu Eun berlari menghampiri Shandi dan memeluknya.

“Oppa,” teriaknya.
Shandi membalas pelukan Eun sambil mengusap rambut Eun. Ia tahu bahwa ia juga merindukan Eun namun bukan rindu yang sama dengan Eun. Kemudian Shandi melepaskan pelukan Eun lalu memberi hormat pada ayah Eun. Kemudian mata Shandi dialihkan pada Song. Eun yang menyadari ketidaktahuan Shandi langsung bersuara.

“Oppa, kenalkan ini Eonni, selama Oppa tidak ada disampingku Eonni yang menemaniku. Berterimakasihlah kepada Eonni, Oppa.”

Shandi yang terpesona dengan kecantikan Song tidak menghiraukan kata-kata Eun. Dia terpaku menatap Song. Song yang ditatap Shandi jadi salah tingkah. Ia tidak ingin merusak suasana di rumah itu. Song lalu menunduk memberi salam.

Anyeonghaseo, saya Song, Mannaseo bangapseummnida[6],” ucap Song.
Eun yang menyadari kediaman Shandi lalu mengguncang tubuh Shandi.
“Oppa, beri salam kepada Eonni!”
“E… eh… ne, anyeonghaseo, Mannaseo bangapseummnida, Shandi,” balas Shandi dengan gugup.
Akhirnya ayah Eun memecah kesunyian.
“Ayo Nak, mari kita rayakan hari bahagia ini,” sambut ayah Eun.
“Oppa, saengil chukha hamnida[7],” potong Eun.
Gomawo,” balas Shandi sambil mengusap kepala Eun.

Shandi tahu Eun sangat bahagia dengan kepulangannya. Namun ada hal lain yang menggelitik sukmanya. Gadis yang dikenalkan Eun barusan telah mengusik sudut terdalam hatinya. Jantungnya berdetak kencang saat dia melayangkan pandangan ke arah Song. Karena saat itu Song juga sedang meliriknya.
“Apakah ini cinta pada pandangan pertama?” bisiknya.
***

Semenjak pertemuan pertama ketika ulang tahun Shandi, Song dan Shandi menjadi lebih akrab. Karena Eun sering melibatkan Song disetiap kegiatannya dengan Shandi. Mulai dari kebiasaannya bermain Tuho ataupun pergi makan Jajangmyeon. Song tidak kesulitan beradapatasi dengan Shandi. Karena kebiasaan mereka hampir sama. Bagi Shandi ini adalah kesempatan baik agar lebih dekat dengan Song.

Mereka sering terlihat bersama. Eun, Shandi dan Song menghabiskan hari-hari mereka dengan menikmati musim dingin yang sebentar lagi usai. Mereka menyempatkan diri menikmati permainan ski. Eun tidak ikut bermain karena dia belum mahir bermain ski. Shandi dan Song mencobanya berdua. Eun senang melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Shandi dan Song. Eun tidak menyadari ada getaran yang berbeda antara Shandi dan Song.

Setelah letih bermain ski mereka juga menyempatkan diri menikmati Odeng. Odeng merupakan makanan yang kerap dicari ketika musim dingin tiba. Odeng ini mirip sekali dengan bakso, isinya berupa daging ikan cara memakannya ialah dengan ditemani kaldu kuah panas. Odeng sangat diminati orang-orang karna odeng sangat cocok untuk menghangatkan badan apalagi ketika musim dingin tiba.

Sehabis makan Odeng mereka juga membeli Hotteok untuk dibawa pulang. Makanan ini mirip sekali dengan martabak, terbuat dari campuran tepung beras, gula, kacang tanah dan juga kayu manis. Proses memasaknya yakni digoreng. Eun sengaja membeli makanan ini karena ayahnya sangat menyukai Hotteok. Semasa dia kecil ibunya sering membuat makanan ini ketika musim dingin tiba.

Kemudian Eun mengajak Shandi dan Song pulang. Dia khawatir ayahnya marah karena pulang larut malam. Shandi dan Song menyetujuinya. Dalam perjalanan pulang tidak banyak terjadi pembicaraan. Mereka larut dengan pikirannya masing-masing. Eun yang terlalu lelah tertidur sambil memeluk lengan Shandi. Sedangkan Shandi sibuk memikirkan perasaannya yang mengharu biru. Demikian juga dengan Song.
Sesampainya di rumah mereka langsung tidur.
***

Keesokan harinya aktivitas di rumah itu kembali seperti biasa. Song sibuk melakukan pekerjaannya. Dia tidak ingin melibatkan perasaannya terlalu jauh terhadap Shandi karena Shandi begitu penting bagi Eun. Eun telah menganggap dia sebagai saudara jadi tidak mungkin baginya melukai hati Eun dengan mengambil orang yang disayanginya. Mulai hari itu Song berjanji akan menjaga jarak dengan Shandi. Meskipun dia mengetahui Shandi juga memiliki rasa yang sama namun Shandi lebih berani menunjukkan sikap perhatiannya. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena Eun lebih mengharapkan cinta Shandi.

Sedangkan Shandi lelah dalam gundah. Pikirannya tidak lagi sepenuhnya untuk pekerjaan. Dia lebih banyak memikirkan perasaannya kepada Song. Tampaknya tidak ada ruang untuk memikirkan Eun karena dia hanya menganggap Eun sebagai adiknya. Berkebalikan dengan Eun yang menganggap Shandi sebagai pacarnya. Ah cinta yag rumit. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan dengan melamun kadang memperhatikan Song dari kejauhan. Sikap dan perhatiannya pada Eun sedikit terabaikan hingga ajakan Eun pun tidak lagi dinomorsatukannya. Eun yang menyadari perubahan Shandi sedikit kecewa namun dia mencoba berpikir positif.

“Mungkin Oppa banyak pekerjaan,” pikirnya menghibur diri.
Sebenarnya dia sedih dengan sikap Shandi yang sering mengabaikannya. Namun dia tidak ingin menambah beban pikiran Shandi dengan rengekannya. Sedikitpun Eun tidak curiga kalau yang menyebabkan perubahan Shandi adalah Song.

Hari bergulir begitu cepat. Shandi semakin gencar mendekati Song. Namun Song berusaha menghindari Shandi. Sedikit demi sedikit Eun mulai curiga bahwa Shandi menyukai Song bukan dirinya. Karena perhatian Shandi lebih banyak kepada Song daripada Eun. Namun hati Eun berusaha membantahnya.

“Oppa tidak mungkin mencintai Eonni, Oppa hanya mencintai aku. Oppa milikku bukan milik Eonni,” bisik hatinya.

Sayangnya kenyataannya berbeda Shandi memang telah jatuh cinta pada Song dan dia tidak bisa memungkiri hatinya. Hingga suatu hari tersingkaplah segala yang tersembunyi. Eun mendapati Shandi berbicara dengan Song. Secara diam-diam dia mengikuti pembicaraan mereka.
“Aku tidak mencintaimu, kau saja yang terlalu dramatis menyikapi keadaan,” ujar Song mendustai hatinya.
“Tidak! Aku tidak percaya kau tidak mencintaiku. Telah lama aku memperhatikan sikap dan perasaanmu. Perasaan kita sama dan jangan kau coba mengelak lagi!” tegas Shandi.
Song hanya diam.
“Ayolah, jangan biarkan gelisah itu mencabik-cabik hatimu,” lanjut Shandi.
“Maafkan aku, Eun lebih menginginkanmu,” kandas Song.
“Eun? Ada apa dengan adikku?” tanya Shandi bingung.
“Adik? Kalian bukan sedarah, Eun menyukaimu apa kamu tidak merasakan perasaan Eun untukmu?”
“Ya, aku menyukai Eun tetapi hanya sebatas perasaan kakak terhadap adik, tidak lebih.”
Eun yang mendengar ungkapan Shandi langsung terduduk lemas. Bagai disambar petir disiang bolong. Hati Eun perih bak disayat sembilu. Ternyata orang yang disayanginya selama ini lebih memilih perempuan lain bukan dirinya.
“Eonni, Oppa,” ujar Eun lirih.

Shandi dan Song yang baru menyadari kedatangan Eun langsung kaget. Mereka segera menghampiri Eun yang terduduk sejauh dua meter dari tempat mereka berdiri.

Pikiran mereka kacau. Bagaimana mungkin Eun mendengarkan percakapan mereka tadi. Shandi langsung membopong Eun ke rumah di ikuti Song yang masih bingung dengan yang terjadi hari itu.
***
Sehari setelah kejadian, Song memutuskan berhenti bekerja. Dan Shandi pun meminta cuti untuk beberapa waktu demi menenangkan pikirannya. Tinggallah Eun yang kembali sepi mengenang mimpi buruknya.
Oppa, nado dangsincheoreom yeojachingu jom isseosseumyeon jokesseoyo[8],” ujarnya lirih.

Selesai.

Biodata penulis :
Zuraini Juita atau yang lebih dikenal Phalosa Aini oleh sahabat-sahabat penulis, adalah perempuan kelahiran Batusangkar, pada tanggal 2 Oktober 1987. Berdomisili di Kota Batusangkar, Sumbar. Januari 2011, bergabung di SMO Writing Revolution (WR).
Bisa kontak saya via fb : Phalosa Aini, Twitter ; Phalosa_aini, email : atv_new@yahoo.co.id,
 


NB=> salah satu tulisan di buku Kumpulan Cerpen K-POP "A Thousand Dreams of Hallyu" tahun 2012, terbitan Wehzhu Publishing.




[1] kakak aku mencintaimu,, jangan lupakan perkataanku ini
[2] Jajangmyeon adalah jenis makanan Korea yaitu mi saus pasta kacang kedelai hitam.
[3] Maafkan aku
[4] Kakak, jangan tinggalkan aku
[5] Selamat datang
[6] Senang bertemu denganmu
[7] Selamat Ulang Tahun untuk Anda
[8] semoga akupun memiliki pacar seperti kamu

Rabu, 28 Desember 2016

DIARY RINDU

DIARY RINDU

5 April 2000, Jakarta
Perempuan berbaju putih itu menghampiriku. Sembari tersenyum dia menatapku tajam. Menusuk jantungku. Tidak salah lagi. Alya. Kenapa Alya bisa di sini. Siapa yang memberitahu dia alamatku di Jakarta. Tidak mungkin. Tidaaakk!!!

Aku terbangun dari mimpi yang menegangkan ini. Astaghfirullah, mimpi apa ini. Kenapa tiba-tiba aku mimpi bertemu Alya. Apa gerangan yang terjadi dengan Alya? Aku harus segera pulang. Aku harus meminta maaf  kepada Alya Ya Tuhan, ampuni aku yang telah melupakan kewajibanku. Melupakan keluargaku.

6 April 2000, Padang
“Sudahlah Nak, ikhlaskan kepergian Alya agar dia tenang disisiNya. Ibu yakin sebelum kepergiannya dia telah memaafkanmu.”

Kata-kata ibu barusan menikam jantungku. Dosaku terhadap Alya begitu besar, aku telah menelantarkan dia. Bahkan di detik-detik terakhir kehidupannya aku tidak berada disampingnya. Dia pergi membawa sejuta luka. Gundukan tanah merah itu semakin basah oleh airmata penyesalan. Kesalahan ini terlalu besar, bahkan diriku sendiri tidak mampu memaafkan apalagi dirimu sayang. Sayang? Heh suami macam apa aku ini, masih sanggup bilang sayang setelah sekian lama membiarkan dia hidup dengan lukanya. Tidak pernah peduli dengan keadaannya setelah aku tinggalkan. Aku telah silau dengan gemerlapnya kota Jakarta hingga pengkhianatan itu terjadi.

Senja enam April
Diary ungu itu tergeletak di sebuah meja di sudut kamar. Rasa penasaran membuatku tergerak membuka dan membacanya. Satu per satu huruf tidak terlewatkan oleh pandangan mataku.

2 Oktober 1999, 00.01 WIB
Bismillahirrahmaanirrahiim
Sepenuh cinta untukmu belahan jiwaku
 “Sayang apa kabar? Lama tak mendengar ocehanmu, menyisakan rindu di hatiku.
Tidakkah kau merinduiku?

Sending message. Yes. Delivered. Beberapa detik berlalu pesan elektronik itu dikirim melalui jaringan yang begitu rumit sehingga masuk ke handphone-mu, serumit hatiku memaknai rindu yang kian membuncah. Khayalku, kau akan tersenyum menatap layar handphone saat pesan baru di inboxmu. Pesan dari orang yang begitu menyayangimu beberapa tahun terakhir ini. Belahan jiwamu. Aku harap kau antusias membacanya dan membalas dengan segera.

Lamunanku dibuyarkan deringan Ungu, Masih Seperti Yang Dulu. Tangan ini bergetar memencet tombol Handphone, tidak sabar ingin segera membaca balasan dari dirimu. Beribu tanya melintas dibenakku menunggu jawaban. Adakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?

“Aku lagi sibuk, nanti aku hubungi.”

Huft… Kecewa. Tidak seperti khayalku. Apa gerangan yang terjadi? Kalimat yang tak pernah terlontar dari bibirmu sebelumnya. Tidak adakah rindu itu untukku? Atau mungkin kau telah mengalihkan pandanganmu pada perempuan lain. Astaghfirullah, tidak selayaknya aku bersu’udzon pada imamku. Ya Tuhan, semoga belahan jiwaku selalu diiringi kebahagiaan dan tetap setia pada keluarganya. Jauhkan dia dari godaan yang akan meruntuhkan biduk rumah tangga kami. Mudahkan segala urusannya Rabbi. Kembalikan dia untukku. Tautkan selalu hatinya kepadaku setelah Engkau dan Rasul-Mu Rabb. Amin.

Awal November 1999
Kamu tau sayang aku sudah tidak sabar lagi. Banyak cerita ingin kubagi denganmu. Mewujudkan mimpi-mimpi yang selama ini kita rangkai. Membesarkan jundi-jundi kita bersama. Tidakkah kau ingat kata-katamu sesaat keberangkatanmu ke Jakarta September lalu.

“Aku akan segera kembali, jaga dirimu baik-baik. Meski ragaku tak bersamamu tapi hatiku akan abadi untukmu. Jaga jundi kita ya!”

Kau kecup keningku begitu mesra seakan jiwa ini tak terpisahkan lagi. Kehangatan terakhir yang kau berikan sesaat sebelum keberangkatanmu demi menjalankan perintah atasan. Aku tak sanggup melepas kepergianmu tetapi aku harus siap menerima resiko punya suami yang menjadi tangan kanan perusahaan. Aku akan setia menunggu hingga nafas tak sanggup lagi bersemayam dijiwaku. Aku akan berusaha menjadi istri yang sholehah. Menjaga jundi kita karena ku tahu kau dan aku sangat menginginkannya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu buah cinta kita. I’m promise I will be take care our baby.


Desember 1999
Kerinduanku sungguh tidak terbendung. Kini telah bulan ketiga kau meninggalkanku. Sedikitpun tidak ada kabar untukku. Aku semakin terpasung di sahara kerinduan. Hari-hari yang kulewati terasa sepi dan semakin menyesakkan dada. Meski akal sehatku mampu melogikakan rindu tetapi hati tak mau mengalah. Entah kenapa aku begitu ingin mendengar suara manjamu. Bercengkrama bersamamu tetapi kamu terlalu sibuk, biar kerinduan ini kutahan sampai waktunya tiba.

Hari-hari yang kulewati cukup melelahkan sayang. Anak-anak di panti asuhan kita semakin nakal. Aku kewalahan mengurus mereka sendirian. Andai kamu di sini kita bisa bersama membesarkan mereka. Ah sudahlah esok saja kuceritakan untukmu bagaimana tingkah polah mereka. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu. Cepat pulang cepat kembali sayang.

Januari 2000
Huft, aku kecewa lagi. Lagi-lagi tidak bisa dihubungi. Entah kali yang keberapa aku mencoba menelfonmu setelah sms terakhir tiga bulan yang lalu. Kamu kemana sayang? Kenapa handphonemu sering tidak aktif bahkan kamu tidak pernah mengabariku setelah sms hari itu. Janji akan menghubungiku tidak pernah terbukti. Aku menantikan kabar darimu. Aku begitu ingin mendengar suaramu. Tidakkah kau ingat janji kita. Janji untuk saling memberi kabar. Tetapi buktinya apa. Telah tiga bulan berlalu tanpa berita.

Setiap malam kusenandungkan kidung rindu untuk menemani jiwa yang sepi. Menatap bulan yang seakan mengerti kegelisahan hati dan jiwa. Pikiranku melayang ke waktu silam, saat perjumpaan kita dirumah sakit. Kita bertemu saat mengambil resep dokter. Kau begitu cuek. Penampilanmu yang sederhana membuat hatiku tergoda. Sign first love.

Semenjak itu kita sering bertemu hingga takdir mengizinkan kita berkenalan. Fikri, itu namamu saat kau mengulurkan tangan di lorong rumah sakit. Saat itu aku menemani Ayah yang sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke yang diderita ayah. Begitu juga dirimu ketika itu kau juga menemani ayahmu yang menderita penyakit yang sama dengan ayahku. Kau sering menemaniku saat aku sedih. Bercerita. Berbagi pengalaman hidup. Ah dirimu, begitu mempesona. Cuek tapi perhatian. Hingga detik ini aku tidak bisa mengalihkan pandanganku kepada yang lain. Kau satu-satunya pria yang pernah menaklukkan hatiku. Entah kenapa sosok dirimu begitu sempurna dimataku. Perhatian yang kau berikan membuatku percaya  akan cinta. Hingga akhirnya kau menetapkan pilihan menjadikanku sebagai pendamping hidupmu beberapa bulan setelah pertemuan kita di rumah sakit. Sungguh anugrah terindah yang pernah kumiliki. Dan sekarang aku telah menjadi seorang ibu. Kau telah tanamkan bibit dirahimku.

Aku akan belajar bagaimana menjadi seorang ibu yang baik buat jundi kita. Membaca buku-buku tentang kehamilan dan bagaimana mendidik anak menjadi anak yang soleh dan pintar. Pokoknya do the best for our baby. I am promise honey, menjaga jundi kita. Aku akan rajin membaca surat Yusuf agar jundi kita setampan Nabi Yusuf. Jangan khawatir, ibu bersedia menemaniku di sini, berbagi cerita bagaimana merawat bayi sampai dia tumbuh dewasa dan menjadikan dia anak yang sholeh seperti dirimu.

Februari 2000
Sayang, aku begitu bahagia. Cepatlah pulang. Rindu ini semakin hari semakin meninggi bak gunung pasir. Tidakkah sedikitpun kau merinduiku? Terakhir sms-mu akan menghubungiku empat bulan yang lalu. Tetapi sampai saat ini kau tidak pernah mengabari keadaanmu di sana. Adakah kau bahagia? Begitu sibukkah dirimu? Terlalu banyakkah proyek yang harus kau selesaikan hingga kau tidak sempat merinduiku. Bahkan mungkin mengingatku.

Begitu banyak pertanyaan menari dibenakku menunggu jawabmu. Tolong jawab sayang, jangan biarkan aku gelisah menunggumu di sini. Sedikit kabar darimu mampu mensuplai energiku yang semakin hari semakin berkurang karena menanggung beban rindu padamu. Atau jangan-jangan kau telah mempunyai belahan jiwa yang baru di sana dan melupakanku? Ah tidak mungkin! Kau berjanji kembali untukku setelah pekerjaanmu selesai. Tetapi kenapa begitu lama sayang? Dulu kau bilang hanya dua bulan di Jakarta. Tetapi sekarang telah bulan kelima semenjak keberangkatanmu bulan September lalu. Kau tak jua kembali.


Maret 2000
Aku tergugu mendengar apa yag diucapkan dokter Jimmy dua hari yang lalu.
“Maaf ibu, ibu menderita penyakit Leukemia Miekamusitik Akut,”
“Apa? Dokter tidak sedang bercanda kan?”
“Benar Bu,”
“Tapi kenapa bisa Dok? Apa penyebabnya Dok?
“Leukimia bisa disebabkan oleh Radiasi, Leukemogenik, Herediter dan Virus. Untuk sementara ibu bisa lakukan sistem therapi yang sering digunakan yaitu kombinasi antara Chemotherapy dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang tidak normal dalam sum-sum tulang.”

Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa menderita penyakit ganas seperti ini. Kuatkan aku Tuhan menjalani sisa umur ini. Beri aku kesabaran agar ikhlas menerima ujian ini Rabb.

Mas, maafkan aku. Kita tidak ditakdirkan menjalani hari tua bersama. Umurku tidak akan lama lagi mas, aku divonis mengidap penyakit mematikan, Leukemia Miekamusitik Akut. Jika suatu saat kau membaca coretan ini dan saat itu aku tak lagi disampingmu. Ikhlaskan kepergianku Mas. Kutitipkan rindu pada angin yang akan menemani hari-harimu. Semoga kau menemukan perempuan cantik yang menggantikan posisiku dihatimu. Aku tidak tau, apakah sekarang kau telah menemukan penggantiku hingga membuatmu lupa tanggung jawabmu sebagai imam di keluargamu. Sekarang aku ikhlas Mas jika kamu tidak menghubungiku atau menanyakan kabarku. Dipenghujung doaku akan selalu ada namamu. Berharap bahagia setia menemani setiap helaan nafasmu. Aku tidak tahu kapan maut menjemputku. Yang aku tahu, aku punya sejuta rindu untukmu. Aku begitu menyayangimu Mas. Sungguh berat melupakan kenangan kita.

Lima tahun biduk rumah tangga ini terjalin. Suka duka kehidupan kita lalui bersama. Saat ini keikhlasanku diuji untuk melupakan orang yang sangat aku sayangi. Jika esok pagi tidak ada lagi untukku, izinkan aku meminta maaf atas kepergian tanpa izin ini. Begitu besar dosa yang kulakukan karena telah pergi tanpa seizin imamku. Ketahuilah, kepergian ini bukan maksud mengkhianatimu tetapi bukti cintaku untukmu Pangeranku. Mungkin kontrakku telah habis untuk tinggal di bumi ini. Ikhlaskan dan maafkanku sayang. Semoga kita dipertemukan di Syurga.
Cintamu
Alya

Ya Tuhan, Alya pergi karena menderita Leukimia. Tidak satupun yang tahu tentang penyakitnya. Penantian yang panjang membuat hidupnya semakin berat. Kau sungguh mulia, istri solehah. Perempuan Syurga. Aku suami yang bejat. Mungkin ini lebih baik untukku.

Gunting yang berada diatas meja telah mendarat diperut Fikri. Seketika malaikat maut menjemputnya.
***




#salah satu tulisan di Buku Kumcer "Singgalang, hatiku gamang"


Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...