Rabu, 28 Desember 2016

DIARY RINDU

DIARY RINDU

5 April 2000, Jakarta
Perempuan berbaju putih itu menghampiriku. Sembari tersenyum dia menatapku tajam. Menusuk jantungku. Tidak salah lagi. Alya. Kenapa Alya bisa di sini. Siapa yang memberitahu dia alamatku di Jakarta. Tidak mungkin. Tidaaakk!!!

Aku terbangun dari mimpi yang menegangkan ini. Astaghfirullah, mimpi apa ini. Kenapa tiba-tiba aku mimpi bertemu Alya. Apa gerangan yang terjadi dengan Alya? Aku harus segera pulang. Aku harus meminta maaf  kepada Alya Ya Tuhan, ampuni aku yang telah melupakan kewajibanku. Melupakan keluargaku.

6 April 2000, Padang
“Sudahlah Nak, ikhlaskan kepergian Alya agar dia tenang disisiNya. Ibu yakin sebelum kepergiannya dia telah memaafkanmu.”

Kata-kata ibu barusan menikam jantungku. Dosaku terhadap Alya begitu besar, aku telah menelantarkan dia. Bahkan di detik-detik terakhir kehidupannya aku tidak berada disampingnya. Dia pergi membawa sejuta luka. Gundukan tanah merah itu semakin basah oleh airmata penyesalan. Kesalahan ini terlalu besar, bahkan diriku sendiri tidak mampu memaafkan apalagi dirimu sayang. Sayang? Heh suami macam apa aku ini, masih sanggup bilang sayang setelah sekian lama membiarkan dia hidup dengan lukanya. Tidak pernah peduli dengan keadaannya setelah aku tinggalkan. Aku telah silau dengan gemerlapnya kota Jakarta hingga pengkhianatan itu terjadi.

Senja enam April
Diary ungu itu tergeletak di sebuah meja di sudut kamar. Rasa penasaran membuatku tergerak membuka dan membacanya. Satu per satu huruf tidak terlewatkan oleh pandangan mataku.

2 Oktober 1999, 00.01 WIB
Bismillahirrahmaanirrahiim
Sepenuh cinta untukmu belahan jiwaku
 “Sayang apa kabar? Lama tak mendengar ocehanmu, menyisakan rindu di hatiku.
Tidakkah kau merinduiku?

Sending message. Yes. Delivered. Beberapa detik berlalu pesan elektronik itu dikirim melalui jaringan yang begitu rumit sehingga masuk ke handphone-mu, serumit hatiku memaknai rindu yang kian membuncah. Khayalku, kau akan tersenyum menatap layar handphone saat pesan baru di inboxmu. Pesan dari orang yang begitu menyayangimu beberapa tahun terakhir ini. Belahan jiwamu. Aku harap kau antusias membacanya dan membalas dengan segera.

Lamunanku dibuyarkan deringan Ungu, Masih Seperti Yang Dulu. Tangan ini bergetar memencet tombol Handphone, tidak sabar ingin segera membaca balasan dari dirimu. Beribu tanya melintas dibenakku menunggu jawaban. Adakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?

“Aku lagi sibuk, nanti aku hubungi.”

Huft… Kecewa. Tidak seperti khayalku. Apa gerangan yang terjadi? Kalimat yang tak pernah terlontar dari bibirmu sebelumnya. Tidak adakah rindu itu untukku? Atau mungkin kau telah mengalihkan pandanganmu pada perempuan lain. Astaghfirullah, tidak selayaknya aku bersu’udzon pada imamku. Ya Tuhan, semoga belahan jiwaku selalu diiringi kebahagiaan dan tetap setia pada keluarganya. Jauhkan dia dari godaan yang akan meruntuhkan biduk rumah tangga kami. Mudahkan segala urusannya Rabbi. Kembalikan dia untukku. Tautkan selalu hatinya kepadaku setelah Engkau dan Rasul-Mu Rabb. Amin.

Awal November 1999
Kamu tau sayang aku sudah tidak sabar lagi. Banyak cerita ingin kubagi denganmu. Mewujudkan mimpi-mimpi yang selama ini kita rangkai. Membesarkan jundi-jundi kita bersama. Tidakkah kau ingat kata-katamu sesaat keberangkatanmu ke Jakarta September lalu.

“Aku akan segera kembali, jaga dirimu baik-baik. Meski ragaku tak bersamamu tapi hatiku akan abadi untukmu. Jaga jundi kita ya!”

Kau kecup keningku begitu mesra seakan jiwa ini tak terpisahkan lagi. Kehangatan terakhir yang kau berikan sesaat sebelum keberangkatanmu demi menjalankan perintah atasan. Aku tak sanggup melepas kepergianmu tetapi aku harus siap menerima resiko punya suami yang menjadi tangan kanan perusahaan. Aku akan setia menunggu hingga nafas tak sanggup lagi bersemayam dijiwaku. Aku akan berusaha menjadi istri yang sholehah. Menjaga jundi kita karena ku tahu kau dan aku sangat menginginkannya. Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu buah cinta kita. I’m promise I will be take care our baby.


Desember 1999
Kerinduanku sungguh tidak terbendung. Kini telah bulan ketiga kau meninggalkanku. Sedikitpun tidak ada kabar untukku. Aku semakin terpasung di sahara kerinduan. Hari-hari yang kulewati terasa sepi dan semakin menyesakkan dada. Meski akal sehatku mampu melogikakan rindu tetapi hati tak mau mengalah. Entah kenapa aku begitu ingin mendengar suara manjamu. Bercengkrama bersamamu tetapi kamu terlalu sibuk, biar kerinduan ini kutahan sampai waktunya tiba.

Hari-hari yang kulewati cukup melelahkan sayang. Anak-anak di panti asuhan kita semakin nakal. Aku kewalahan mengurus mereka sendirian. Andai kamu di sini kita bisa bersama membesarkan mereka. Ah sudahlah esok saja kuceritakan untukmu bagaimana tingkah polah mereka. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu. Cepat pulang cepat kembali sayang.

Januari 2000
Huft, aku kecewa lagi. Lagi-lagi tidak bisa dihubungi. Entah kali yang keberapa aku mencoba menelfonmu setelah sms terakhir tiga bulan yang lalu. Kamu kemana sayang? Kenapa handphonemu sering tidak aktif bahkan kamu tidak pernah mengabariku setelah sms hari itu. Janji akan menghubungiku tidak pernah terbukti. Aku menantikan kabar darimu. Aku begitu ingin mendengar suaramu. Tidakkah kau ingat janji kita. Janji untuk saling memberi kabar. Tetapi buktinya apa. Telah tiga bulan berlalu tanpa berita.

Setiap malam kusenandungkan kidung rindu untuk menemani jiwa yang sepi. Menatap bulan yang seakan mengerti kegelisahan hati dan jiwa. Pikiranku melayang ke waktu silam, saat perjumpaan kita dirumah sakit. Kita bertemu saat mengambil resep dokter. Kau begitu cuek. Penampilanmu yang sederhana membuat hatiku tergoda. Sign first love.

Semenjak itu kita sering bertemu hingga takdir mengizinkan kita berkenalan. Fikri, itu namamu saat kau mengulurkan tangan di lorong rumah sakit. Saat itu aku menemani Ayah yang sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke yang diderita ayah. Begitu juga dirimu ketika itu kau juga menemani ayahmu yang menderita penyakit yang sama dengan ayahku. Kau sering menemaniku saat aku sedih. Bercerita. Berbagi pengalaman hidup. Ah dirimu, begitu mempesona. Cuek tapi perhatian. Hingga detik ini aku tidak bisa mengalihkan pandanganku kepada yang lain. Kau satu-satunya pria yang pernah menaklukkan hatiku. Entah kenapa sosok dirimu begitu sempurna dimataku. Perhatian yang kau berikan membuatku percaya  akan cinta. Hingga akhirnya kau menetapkan pilihan menjadikanku sebagai pendamping hidupmu beberapa bulan setelah pertemuan kita di rumah sakit. Sungguh anugrah terindah yang pernah kumiliki. Dan sekarang aku telah menjadi seorang ibu. Kau telah tanamkan bibit dirahimku.

Aku akan belajar bagaimana menjadi seorang ibu yang baik buat jundi kita. Membaca buku-buku tentang kehamilan dan bagaimana mendidik anak menjadi anak yang soleh dan pintar. Pokoknya do the best for our baby. I am promise honey, menjaga jundi kita. Aku akan rajin membaca surat Yusuf agar jundi kita setampan Nabi Yusuf. Jangan khawatir, ibu bersedia menemaniku di sini, berbagi cerita bagaimana merawat bayi sampai dia tumbuh dewasa dan menjadikan dia anak yang sholeh seperti dirimu.

Februari 2000
Sayang, aku begitu bahagia. Cepatlah pulang. Rindu ini semakin hari semakin meninggi bak gunung pasir. Tidakkah sedikitpun kau merinduiku? Terakhir sms-mu akan menghubungiku empat bulan yang lalu. Tetapi sampai saat ini kau tidak pernah mengabari keadaanmu di sana. Adakah kau bahagia? Begitu sibukkah dirimu? Terlalu banyakkah proyek yang harus kau selesaikan hingga kau tidak sempat merinduiku. Bahkan mungkin mengingatku.

Begitu banyak pertanyaan menari dibenakku menunggu jawabmu. Tolong jawab sayang, jangan biarkan aku gelisah menunggumu di sini. Sedikit kabar darimu mampu mensuplai energiku yang semakin hari semakin berkurang karena menanggung beban rindu padamu. Atau jangan-jangan kau telah mempunyai belahan jiwa yang baru di sana dan melupakanku? Ah tidak mungkin! Kau berjanji kembali untukku setelah pekerjaanmu selesai. Tetapi kenapa begitu lama sayang? Dulu kau bilang hanya dua bulan di Jakarta. Tetapi sekarang telah bulan kelima semenjak keberangkatanmu bulan September lalu. Kau tak jua kembali.


Maret 2000
Aku tergugu mendengar apa yag diucapkan dokter Jimmy dua hari yang lalu.
“Maaf ibu, ibu menderita penyakit Leukemia Miekamusitik Akut,”
“Apa? Dokter tidak sedang bercanda kan?”
“Benar Bu,”
“Tapi kenapa bisa Dok? Apa penyebabnya Dok?
“Leukimia bisa disebabkan oleh Radiasi, Leukemogenik, Herediter dan Virus. Untuk sementara ibu bisa lakukan sistem therapi yang sering digunakan yaitu kombinasi antara Chemotherapy dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada pemberhentian produksi sel darah putih yang tidak normal dalam sum-sum tulang.”

Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa menderita penyakit ganas seperti ini. Kuatkan aku Tuhan menjalani sisa umur ini. Beri aku kesabaran agar ikhlas menerima ujian ini Rabb.

Mas, maafkan aku. Kita tidak ditakdirkan menjalani hari tua bersama. Umurku tidak akan lama lagi mas, aku divonis mengidap penyakit mematikan, Leukemia Miekamusitik Akut. Jika suatu saat kau membaca coretan ini dan saat itu aku tak lagi disampingmu. Ikhlaskan kepergianku Mas. Kutitipkan rindu pada angin yang akan menemani hari-harimu. Semoga kau menemukan perempuan cantik yang menggantikan posisiku dihatimu. Aku tidak tau, apakah sekarang kau telah menemukan penggantiku hingga membuatmu lupa tanggung jawabmu sebagai imam di keluargamu. Sekarang aku ikhlas Mas jika kamu tidak menghubungiku atau menanyakan kabarku. Dipenghujung doaku akan selalu ada namamu. Berharap bahagia setia menemani setiap helaan nafasmu. Aku tidak tahu kapan maut menjemputku. Yang aku tahu, aku punya sejuta rindu untukmu. Aku begitu menyayangimu Mas. Sungguh berat melupakan kenangan kita.

Lima tahun biduk rumah tangga ini terjalin. Suka duka kehidupan kita lalui bersama. Saat ini keikhlasanku diuji untuk melupakan orang yang sangat aku sayangi. Jika esok pagi tidak ada lagi untukku, izinkan aku meminta maaf atas kepergian tanpa izin ini. Begitu besar dosa yang kulakukan karena telah pergi tanpa seizin imamku. Ketahuilah, kepergian ini bukan maksud mengkhianatimu tetapi bukti cintaku untukmu Pangeranku. Mungkin kontrakku telah habis untuk tinggal di bumi ini. Ikhlaskan dan maafkanku sayang. Semoga kita dipertemukan di Syurga.
Cintamu
Alya

Ya Tuhan, Alya pergi karena menderita Leukimia. Tidak satupun yang tahu tentang penyakitnya. Penantian yang panjang membuat hidupnya semakin berat. Kau sungguh mulia, istri solehah. Perempuan Syurga. Aku suami yang bejat. Mungkin ini lebih baik untukku.

Gunting yang berada diatas meja telah mendarat diperut Fikri. Seketika malaikat maut menjemputnya.
***




#salah satu tulisan di Buku Kumcer "Singgalang, hatiku gamang"


Tidak ada komentar:

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...