DENDANG KEMATIAN
Oleh
: Phalosa Aini
Semalam
aku bermimpi salah satu gigiku copot. Menurut mitos jika kita mimpi salah satu
organ tubuh hilang itu pertanda buruk. Konon katanya akan ada salah satu dari
anggota keluarga yang akan meninggal. Sebenarnya aku tidak begitu mempercayai
mitos tersebut karena sama saja syirik alias menyekutukan Tuhan. Bukankah kita
tidak pernah mengetahui kapan ajal akan menjemput. Segera saja kutepis bayangan
mimpi semalam. Meski sesekali masih berkelebat dibenakku.
Aku
teringat dengan bapak yang beberapa hari ini dikabari ibu dalam keadaan sakit.
Kondisi bapak sudah tidak sekuat dulu lagi. Sekarang dia sering sakit-sakitan.
Dia banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur. Aku tidak tahu persis sakit
apa yang mendera bapak akhir-akhir ini. Terakhir kali aku mengunjungi bapak enam
bulan yang lalu. Dia masih terlihat segar bugar. Ah mungkin saja faktor usia
karena usia bapak sudah enam puluh tahun. Seminggu yang lalu Ibu memintaku
pulang ke kampung melihat kondisi bapak. Kata ibu, bapak sering menyebut-nyebut
namaku saat dia tidur.
Permintaan
ibu baru hari ini bisa aku penuhi. Aku minta izin selama satu minggu dari
pekerjaan. Untung saja sekolah tempatku mengajar mengizinkan. Rencananya pagi ini
aku akan pulang menuju tempat kelahiranku Batusangkar. Sengaja aku menelfon
angkutan travel biar lebih cepat sampai di rumah.
Pukul
delapan pagi aku berangkat dari Padang setelah menunggu setengah jam karena
keterlambatan supir travel menjemputku. Aku menggerutu sepanjang jalan karena
supir travel tersebut masih baru dan masih belum hafal kemana arah jalannya.
Huh kok bisa-bisanya ya si pimpinan menerima supir seperti dia. Ini menyangkut
kenyamanan pelanggan. Bukankah orang-orang memilih jasa travel yang lebih cepat
daripada naik bus yang super lelet. Jadi kenyamanan pelanggan harus
diperhatikan.
“Ini
belok kemana jalannya mbak,” ujar sang supir untuk kesekian kalinya.
“Terserah
saja mas, mau kanan atau kiri yang penting sampai,” jawabku sekenanya.
Sang
supir kebingungan. Untung ada ibu-ibu yang berbaik hati memberi petunjuk karena
kebetulan tujuan kami sama. Aku yang sedari tadi kesal langsung pura-pura tidur
walau sebenarnya mataku tidak mau kompromi. Sengaja kupejamkan mata biar si
supir mengira aku tidur. Padahal pikiranku sudah ada di rumah teringat omongan
ibu beberapa hari yang lalu ditambah dengan mimpi buruk semalam. Aku juga tidak
bisa memungkiri mitos tersebut karena terkadang juga bertemu di kehidupan nyata.
Setelah
melewati detik-detik yang melelahkan, akhirnya perjalanan yang membosankan
sekaligus mengesalkan itu berakhir. Aku langsung disambut ibu karena kebetulan
rumahku tidak jauh dari jalan raya. Ibu langsung memeluk dan menciumku.
“Ayo
masuk Ran,” ujar ibu sambil mengelus pundakku.
Ada getaran aneh dari suaranya menyapaku.
Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan ibu kepadaku. Namun ibu tidak mau kekhawatirannya
mengganggu suasana kedatanganku. Ibu langsung mengajakku masuk ke dalam rumah
menemui bapak yang sedari tadi sudah menunggu kedatanganku.
Aku
bergegas masuk ke dalam rumah langsung menuju ruang tamu. Aku terkejut melihat
bapak. Seketika aku tercekat dan tidak mampu berkata-kata melihat tubuh ringkih
yang terduduk lemas di kursi roda. Sebuah senyum bahagia yang dipaksakan demi
menutupi keperihannya menahan sakit. Aku berlari memeluk bapak.
“Rani,
akhirnya kamu pulang juga Nak,” ujar bapak serak sambil mengusap rambutku.
Aku
menatap mata bapak. Senyum tulus dan ikhlas selalu membayangi wajah tua bapak.
Tanpa kusadari bulir bening yang sedari tadi kutahan menetes dipipiku.
“Kamu
kenapa Nak? Bapak tidak apa-apa kenapa menangis?” tanya bapakku khawatir.
Segera
kuhapus airmataku dan menggelengkan kepala.
“Tidak
apa-apa pak, karena bahagia bertemu bapak,” jawabku mengelak.
Aku
harus kuat didepan bapak. Aku tidak boleh kelihatan cengeng. Bapak saja yang
sakit-sakitan selalu tersenyum.
“Ya
sudah, bawa barang-barangmu ke kamar. Setelah itu kita makan bersama. Ibumu
sudah masak sambal kesukaanmu, rendang belut sama kerupuk jengkol,”
“Wouw,
enak sekali. Aku juga sudah lapar pak. Tadi cuma makan roti dan minum segelas teh,”
Mendengar
rendang belut dan kerupuk jengkol perutku langsung kriuk-kriuk. Segera kubawa
tas ke dalam lamar. Dan bergabung bersama ibu dan bapak di ruang makan.
***
Empat
hari sudah aku di rumah. Bapak terlihat mulai pulih. Ibu bilang bapak sakit
tekanan darah tinggi. Bapak tidak mau dirawat di rumah sakit. Melihat kondisi
bapak hari ini aku optimis bapak bisa beraktivitas seperti semula. Sore ini
bapak mengajakku bercerita masa-masa zaman dulu sambil menunggu adzan maghrib
berkumandang.
Mereka
ulang kisah perjalanan hidupnya masa muda. Selama ini aku selalu mengelak
ketika bapak mulai mengulas kisah. Aku akan mencari-cari alasan agar tidak
berlama-lama mendengar cerita bapak. Namun kali ini ketertarikanku dengan semua
perjuangan bapak semasa mudanya membuatku betah berada disampingnya.
“Ran,
kalau bapak telah pergi tolong jangan menangis ya, jangan menyerah dengan
kehidupan ini Nak. Kamu harus selesaikan kuliahmu hingga sarjana. Bapak yakin
kamu bisa menjalaninya. Maafkan selama ini bapak sering tidak mempedulikan
kamu. Itu semua bapak lakukan karena bapak mau kamu mandiri meski bapak tidak
disamping kamu,” ujar bapak panjang lebar.
Aku
hanya mampu mengangguk mengiyakan. Tidak sanggup menanggapi omongan bapak.
Apakah bapak benar-benar akan pergi untuk selamanya? Bisikku dalam hati.
***
Senja berganti malam. Mentari telah
digantikan dengan kehadiran bulan. Menyapa malamku yang gelisah. Sekarang sudah
pukul dua belas malam. Dari tadi aku belum bisa memejamkan mata. Dentang jarum
jam menambah derap kesunyianku. Pikiranku masih melayang pada pembicaraan
dengan bapak tadi sore. Apakah bapak telah merasakan kedatangan malaikat yang
akan menjemputnya. Ah bapak…
Tiba-tiba kudengar suara seseorang
berdendang. Lamat kudengar dendangannya semakin mengiba-iba. Kupertajam
pendengaran untuk mengetahui siapakah gerangan yang berdendang ditengah malam sunyi
ini. Aku tersentak ternyata itu suara bapak. Kenapa bapak belum tidur jam
segini. Namun aku tidak berani mengganggu bapak. Aku hanya menyimak apa yang
disampaikan bapak.
“Alah bauriah bak sipasin, kok
bakiek alah bajajak, habih tahun baganti musim sandi Adat jangan dianjak. Adat
biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakai nan buruak
samo dibuang. Anggang nan datang dari lauik, tabang sarato jo mangkuto, dek
baik budi nan manyambuik, pumpun kuku patah pauahnyo,”[1]
Diam. Beberapa menit berlalu sunyi.
Kemudian terdengar lagi suara bapak dengan nada yang menyayat hati.
“Bajalan paliharolah kaki Nak oi,
bakato paliharolah lidah. Kato bapak kato
panggaja, kato kalipah dari mamak, mujua indak dapek kito kaja, malang tak
dapek kito tulak. Dibaliak pandakian ado panurunan, dibaliak panurunan ado
pandakian,”[2]
Kemudian diam lagi. Aku menunggu
namun tiada lagi terdengar suara bapak. Mungkin bapak telah tidur. Aku pun juga
telah diserang kantuk. Akhirnya aku tertidur pulas dengan semua tanda tanya
yang kuendapkan.
***
Pukul lima subuh.
“Raan, Ranii,” suara ibu teriak dari
luar kamar memanggilku.
Aku yang baru bangun kaget mendengar
teriakan ibu.
“Apa Bu? Rani baru bangun,” jawabku.
“Bapakmu Nak, bapak,”
Hah. Ada apa dengan bapak. Bergegas aku
keluar kamar menemui ibu yang menangis sambil mengguncang tubuh bapak. Aku yang
melihat kondisi tersebut langsung terduduk lemas. Semalam aku masih mendengar
suara bapak berdendang hingga tengah malam. Ternyata semua itu pesan sebelum
kepergian bapak untuk selamanya. Ya Tuhan, ampuni dosa bapakku dan tempatkan ia
di Sisi-Mu. Amin.
Selesai.
Ket :
[1] Walaupun tahun silih berganti musim selalu beredar, tetapi
pegangan hidup jangan dilepas. Yang baik sama
dipakai, yang buruk sama ditinggalkan. Seseorang yang disambut dengan budi yang
baik dan tingkah laku yang sopan, musuh sekalipun tidak akan menjadi ganas.
[2] Hati-hatilah dalam berjalan begitu juga dalam melihat,
sehingga tidak menyakiti orang lain. Keuntungan tak dapat
dikejar-kejar, begitupun mara bahaya dan musibah tidak kuasa manusia
menolaknya. Di balik kesusahan ada kemudahan, di balik penderitaan ada
kesenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar