Oleh : Phalosa Aini
“Ibunda
hawa, dengan cinta kateksisnya, telah memberangus cinta Nabi Adam As.
Sebagai bukti, paling tidak kau bisa membaca bagaimana Nabi Adam
menuruti keinginan Ibunda Hawa untuk melanggar makan “buah keabadian”
sehingga dideportasi oleh Allah dari Syurga ke Bumi,”
“Ibunda
Khadijah, dengan cinta altruistis mutualistisnya, berani menyatakan
diri untuk melamar Baginda Muhammad SAW dan kemudian setia ikut serta
memperjuangkan beliau dan segala apa yang dibawa beliau, sehingga dunia
yang gulita menjadi terang benggala. Nah kau mau menjadi perempuan
seperti siapa? Silahkan pilih salah seorang dari dua sosok besar itu!
Insya Allah, jawabanmu akan menentukan siapa dirimu sebenarnya di masa
depan.” Itu ujarmu suatu hari.
Dan
aku lebih memilih Ibunda Khadijah namun tidak dengan kondisi seperti
ini. Kau mempertanyakan “kondisi seperti ini” yang aku maksud. Namun aku
tidak menanggapi pertanyaanmu. Mungkin kau ingin tahu kenapa aku
berucap demikian.
Aku
memang ingin seperti Ibunda Khadijah yang berjuang bersama suaminya.
Namun kondisi yang aku hadapi sekarang berbeda. Aku hadir diantara
kalian. Kau dan bidadari embun. Karena itu aku tidak mau menjadi pihak
ketiga sebuah hubungan. Yah hubungan kau dengannya, istri masa depan
yang selalu kau dengungkan kepadaku. Aku bisa saja meneriakkan bahwa aku
menyayangimu dan aku memintamu menjadi pendampingku, seperti ungkapanku
kala itu.
“Maukah kau menjadi bintangku?”
Aku
selalu mengulur waktu ketika kau berniat menghubungiku? Karena aku
belum ingin mengenali seorang lelaki seutuhnya. Aku telah lelah. Lelah
dikhianati, lelah dicintai bahkan lelah untuk disayangi. Kubiarkan waktu
membawaku ke mana arah yang disukainya. Tidak jarang aku pasrah dengan
keadaan. Bagiku cinta hanya menyakitkan. Bahkan di keluargaku sendiri.
Aku belum pernah menemukan cinta yang membahagiakan. Hal ini membuatku
trauma meski kau selalu melarangku agar tidak menggeneralisasi keadaan.
Tidak semuanya bersikap demikian, ujarmu. Namun sulit bagiku untuk
mempercayainya kembali.
Bahkan
hingga detik ini membuatku semakin tidak percaya bahwa cinta itu
benar-benar ada. Aku tahu Tuhan adalah Sang Pemilik Cinta. Dan aku
berusaha memahami cinta yang diberikan Tuhan untukku. Mungkin saja
karena cinta Tuhan kepadaku hingga aku harus diuji dengan kehilangan
cinta Makhluk-Nya.
Aku
sadari sebenarnya aku sosok yang lemah namun selalu ingin terlihat
tegar di hadapan orang-orang. Bukan aku munafik. Namun itulah caraku
belajar mencinta, belajar menyayangi. Meski ketika kesendirian
menyergapku tidak jarang air mata menjadi tumpahan resah. Begitu
pedihnya kehidupan yang aku lakoni. Begitu sakitnya luka yang mereka
beri. Betapa kerapnya aku harus kehilangan orang-orang yang ku sayangi.
Tapi aku yakin, Tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkannya. Inilah
hidupku. Kehilangan membuatku selalu percaya bahwa Tuhan punya rencana
lain untuk hidupku meski logika selalu membantahnya. Ini bukan untuk
pertama kalinya aku kehilangan!
Benar.
Bukan untuk pertama kalinya. Dan mungkin saja bukan untuk terakhir
kalinya. Aku harus menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Sosok lemah
yang selalu cengeng, pengecut, munafik, dan deretan keburukanku yang
lain. Dan aku harus ikhlas menerima keputusan Tuhan untuk mengambil
orang-orang yang kusayang. Mungkin saja aku memang bukan yang terbaik di
mata siapa pun. Tidak terkecuali keluargaku, termasuk dirimu.
Telah
beberapa kali moment penting itu memberangus pondasi cinta yang
kubangun dengan susah payah. Aku hanya ingin belajar mempercayai bahwa
cinta itu benar-benar ada. Itu saja!
Semenjak
kehadiran dirimu dalam hidupku, aku selalu mengatakan bahwa aku tidak
boleh jatuh cinta! Sekali pun tidak! Namun semuanya bertolak belakang.
Sapaanmu mengusik hari-hariku. Hingga aku terlalu dini menyimpulkan
bahwa aku memiliki rasa untukmu.
Sekarang
aku tidak tahu harus berujar bagaimana lagi. Aku harus kehilangan untuk
kesekian kalinya. Kehilangan seseorang yang kusayang menurut versiku.
Aku memang tidak terbiasa dengan sebuah pengakuan. Namun ketika aku
menyayangi seseorang, lihatlah bagaimana aku merespon pembicaraannya.
Lihatlah bagaimana aku selalu mendesahkan kalimat rindu padanya.
Lihatlah bagaimana aku membuat dia merasa nyaman denganku. Lihatlah
bagaimana aku mencoba menjadi seorang sahabat baginya. Bahkan mungkin
aku harus menutupi segala gundahku dihadapannya. Karena aku tidak ingin
mengkhawatirkan dia. Ah, tidak perlu kuungkap lagi lembaran sendu itu.
Mendung
sepertinya hendak terus menggantung di sepasang mataku. Enam kali cuaca
berubah tidak pernah membuatku begini lelah dalam gundah.
Keterpesonaanku pada lintasan bayangmu hanya menggoreskan luka. Kuharap
tiada lagi salam rindu yang kau kirimkan lewat desahan angin malam.
Tiada lagi kata bijak yang selalu kau senandungkan kala gundah
menghampiriku. Dan aku pun tidak menginginkan lagi penjelasan panjang
lebar seperti ujarmu beberapa waktu lalu.
“Aku
ingin sekali mendampingimu sepanjang hidupku. Tetapi aku tidak mau
menyakiti bidadari embun yang telah lebih dulu meminang rindumu. Apalagi
aku merasa masih ada sisa dawai renjana yang kautaruh lewat diam doamu
untuknya,”
Aku
hanya mampu terdiam menikmati perih ketika pesan itu kau kirimkan
padaku. Betapa beruntungnya dia, bidadari embun, istri masa depan yang
telah kau terima pinangannya.
Aku
heran kau selalu dibingungkan dengan bidadarimu itu. Kau selalu
terbelit dalam lingkaran masalah karena bidadarimu itu. Namun, kau tetap
teguh mempertahankan cintamu meski sebenarnya kau sudah lelah. Lelah
dalam gundah. Seperti curhatanmu kala itu.
“Aku
pun bungkam beribu kalam. Entah mengapa aku selalu mendengar dia
disebutkan banyak orang. Padahal aku sudah lelah. Aku ingin istirah
kendati mustahil melupakan semuanya. Kalau memang dia yang dikirim Tuhan
untuk hidup-matiku, setidaknya aku kembali membangun arsitektur cinta
yang sama untuk istriku di masa depan. Ya, untuk istriku, siapa dan dari
mana pun dia hadirnya.
Kau tentu tahu, bukan, bahwa aku juga bisa merindukanmu? Bukankah kau sudah kenal baik bahwa aku hanya sebatas utusan cinta yang bertugas menyayangi, bukan memiliki?”
Kau tentu tahu, bukan, bahwa aku juga bisa merindukanmu? Bukankah kau sudah kenal baik bahwa aku hanya sebatas utusan cinta yang bertugas menyayangi, bukan memiliki?”
Ah,
aku semakin muak mendengar penjelasanmu. Kau tidak pernah tahu betapa
terlukanya aku atas perlakuanmu. Jika kau benar-benar mengerti perempuan
seharusnya kau tidak memulai ini sejak semula. Kenapa harus ada
pengkhianatan? Dan kenapa kau menambah satu poin negatif lagi untuk
kaummu?
Kau
tahu? Aku selalu berupaya mengunci pintu ini namun celah-celah di
dinding selalu meniupkan angin kerinduan yang menyesakkan dada.
Dan kau pun selalu berkata,“Aku
bersyukur kepada Tuhan. Sebab, tanpa pertemuan dan perpisahan pun kita
masih bisa menyulam kesunyian berjam-jam menjadi biola kerinduan.” Namun tidak demikian adanya denganku. Sekarang aku terpaksa egois meninggalkanmu. Kupikir bidadari embun akan setia menemani hari-harimu. Meski kau selalu mengatakan “padahal aku bisa menjadi siapa saja”.
Ya,
kau bisa menjadi siapa saja. Namun hatiku tidak bisa menerimanya.
Bukannya kau sudah tahu bagaimana gejolak hati ini. Gemuruh yang terjadi
ketika aku ada dihadapanmu.
Sekarang aku
hanya ingin berhenti. Berhenti mengenangmu dan segalanya. Aku sungguh
ingin lepas dari jeratan segitiga rasa ini. Karena hanya membuatku
semakin terpasung dalam jejak mimpi yang kian sirna. Bagiku, kau dan dia
adalah sebuah memori yang harus kukubur dalam agar tidak ada lagi yang
menjamah labirin hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar