DIARY RINDU
5 April 2000,
Jakarta
Perempuan berbaju putih itu menghampiriku. Sembari tersenyum dia
menatapku tajam. Menusuk jantungku. Tidak salah lagi. Alya. Kenapa Alya bisa di
sini. Siapa yang memberitahu dia alamatku di Jakarta. Tidak mungkin.
Tidaaakk!!!
Aku terbangun dari mimpi yang menegangkan ini. Astaghfirullah, mimpi
apa ini. Kenapa tiba-tiba aku mimpi bertemu Alya. Apa gerangan yang terjadi
dengan Alya? Aku harus segera pulang. Aku harus meminta maaf kepada Alya Ya Tuhan, ampuni aku yang telah
melupakan kewajibanku. Melupakan keluargaku.
6 April 2000,
Padang
“Sudahlah Nak, ikhlaskan kepergian Alya agar dia tenang disisiNya. Ibu
yakin sebelum kepergiannya dia telah memaafkanmu.”
Kata-kata ibu barusan menikam jantungku. Dosaku terhadap Alya begitu
besar, aku telah menelantarkan dia. Bahkan di detik-detik terakhir kehidupannya
aku tidak berada disampingnya. Dia pergi membawa sejuta luka. Gundukan tanah
merah itu semakin basah oleh airmata penyesalan. Kesalahan ini terlalu besar,
bahkan diriku sendiri tidak mampu memaafkan apalagi dirimu sayang. Sayang? Heh
suami macam apa aku ini, masih sanggup bilang sayang setelah sekian lama
membiarkan dia hidup dengan lukanya. Tidak pernah peduli dengan keadaannya
setelah aku tinggalkan. Aku telah silau dengan gemerlapnya kota Jakarta hingga
pengkhianatan itu terjadi.
Senja enam April
Diary ungu itu tergeletak di sebuah meja di sudut kamar. Rasa penasaran
membuatku tergerak membuka dan membacanya. Satu per satu huruf tidak
terlewatkan oleh pandangan mataku.
2 Oktober 1999, 00.01 WIB
Bismillahirrahmaanirrahiim
Sepenuh cinta untukmu belahan jiwaku
“Sayang apa kabar? Lama tak mendengar
ocehanmu, menyisakan rindu di hatiku.
Tidakkah kau merinduiku?
Sending message. Yes. Delivered.
Beberapa detik berlalu pesan elektronik itu dikirim melalui jaringan yang
begitu rumit sehingga masuk ke handphone-mu, serumit hatiku memaknai rindu yang
kian membuncah. Khayalku, kau akan tersenyum menatap layar handphone saat pesan
baru di inboxmu. Pesan dari orang yang begitu menyayangimu beberapa tahun
terakhir ini. Belahan jiwamu. Aku harap kau antusias membacanya dan membalas
dengan segera.
Lamunanku dibuyarkan deringan Ungu,
Masih Seperti Yang Dulu. Tangan ini bergetar memencet tombol Handphone, tidak
sabar ingin segera membaca balasan dari dirimu. Beribu tanya melintas dibenakku
menunggu jawaban. Adakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?
“Aku lagi sibuk, nanti aku
hubungi.”
Huft… Kecewa. Tidak seperti
khayalku. Apa gerangan yang terjadi? Kalimat yang tak pernah terlontar dari
bibirmu sebelumnya. Tidak adakah rindu itu untukku? Atau mungkin kau telah
mengalihkan pandanganmu pada perempuan lain. Astaghfirullah, tidak selayaknya
aku bersu’udzon pada imamku. Ya Tuhan, semoga belahan jiwaku selalu diiringi
kebahagiaan dan tetap setia pada keluarganya. Jauhkan dia dari godaan yang akan
meruntuhkan biduk rumah tangga kami. Mudahkan segala urusannya Rabbi.
Kembalikan dia untukku. Tautkan selalu hatinya kepadaku setelah Engkau dan
Rasul-Mu Rabb. Amin.
Awal November 1999
Kamu tau sayang aku sudah tidak
sabar lagi. Banyak cerita ingin kubagi denganmu. Mewujudkan mimpi-mimpi yang
selama ini kita rangkai. Membesarkan jundi-jundi kita bersama. Tidakkah kau
ingat kata-katamu sesaat keberangkatanmu ke Jakarta September lalu.
“Aku akan segera kembali, jaga
dirimu baik-baik. Meski ragaku tak bersamamu tapi hatiku akan abadi untukmu.
Jaga jundi kita ya!”
Kau kecup keningku begitu mesra
seakan jiwa ini tak terpisahkan lagi. Kehangatan terakhir yang kau berikan
sesaat sebelum keberangkatanmu demi menjalankan perintah atasan. Aku tak
sanggup melepas kepergianmu tetapi aku harus siap menerima resiko punya suami
yang menjadi tangan kanan perusahaan. Aku akan setia menunggu hingga nafas tak
sanggup lagi bersemayam dijiwaku. Aku akan berusaha menjadi istri yang
sholehah. Menjaga jundi kita karena ku tahu kau dan aku sangat menginginkannya.
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu buah cinta kita. I’m promise I will be take care our baby.
Desember 1999
Kerinduanku sungguh tidak
terbendung. Kini telah bulan ketiga kau meninggalkanku. Sedikitpun tidak ada
kabar untukku. Aku semakin terpasung di sahara kerinduan. Hari-hari yang
kulewati terasa sepi dan semakin menyesakkan dada. Meski akal sehatku mampu melogikakan
rindu tetapi hati tak mau mengalah. Entah kenapa aku begitu ingin mendengar
suara manjamu. Bercengkrama bersamamu tetapi kamu terlalu sibuk, biar kerinduan
ini kutahan sampai waktunya tiba.
Hari-hari yang kulewati cukup
melelahkan sayang. Anak-anak di panti asuhan kita semakin nakal. Aku kewalahan
mengurus mereka sendirian. Andai kamu di sini kita bisa bersama membesarkan
mereka. Ah sudahlah esok saja kuceritakan untukmu bagaimana tingkah polah
mereka. Aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu. Cepat pulang cepat kembali
sayang.
Januari 2000
Huft, aku kecewa lagi. Lagi-lagi
tidak bisa dihubungi. Entah kali yang keberapa aku mencoba menelfonmu setelah
sms terakhir tiga bulan yang lalu. Kamu kemana sayang? Kenapa handphonemu
sering tidak aktif bahkan kamu tidak pernah mengabariku setelah sms hari itu.
Janji akan menghubungiku tidak pernah terbukti. Aku menantikan kabar darimu.
Aku begitu ingin mendengar suaramu. Tidakkah kau ingat janji kita. Janji untuk
saling memberi kabar. Tetapi buktinya apa. Telah tiga bulan berlalu tanpa
berita.
Setiap malam kusenandungkan
kidung rindu untuk menemani jiwa yang sepi. Menatap bulan yang seakan mengerti
kegelisahan hati dan jiwa. Pikiranku melayang ke waktu silam, saat perjumpaan
kita dirumah sakit. Kita bertemu saat mengambil resep dokter. Kau begitu cuek.
Penampilanmu yang sederhana membuat hatiku tergoda. Sign first love.
Semenjak itu kita sering bertemu
hingga takdir mengizinkan kita berkenalan. Fikri, itu namamu saat kau
mengulurkan tangan di lorong rumah sakit. Saat itu aku menemani Ayah yang
sedang dirawat di rumah sakit karena penyakit stroke yang diderita ayah. Begitu
juga dirimu ketika itu kau juga menemani ayahmu yang menderita penyakit yang
sama dengan ayahku. Kau sering menemaniku saat aku sedih. Bercerita. Berbagi
pengalaman hidup. Ah dirimu, begitu mempesona. Cuek tapi perhatian. Hingga
detik ini aku tidak bisa mengalihkan pandanganku kepada yang lain. Kau
satu-satunya pria yang pernah menaklukkan hatiku. Entah kenapa sosok dirimu
begitu sempurna dimataku. Perhatian yang kau berikan membuatku percaya akan cinta. Hingga akhirnya kau menetapkan
pilihan menjadikanku sebagai pendamping hidupmu beberapa bulan setelah
pertemuan kita di rumah sakit. Sungguh anugrah terindah yang pernah kumiliki.
Dan sekarang aku telah menjadi seorang ibu. Kau telah tanamkan bibit dirahimku.
Aku akan belajar bagaimana
menjadi seorang ibu yang baik buat jundi kita. Membaca buku-buku tentang
kehamilan dan bagaimana mendidik anak menjadi anak yang soleh dan pintar.
Pokoknya do the best for our baby. I am promise honey, menjaga jundi kita.
Aku akan rajin membaca surat Yusuf agar jundi kita setampan Nabi Yusuf. Jangan
khawatir, ibu bersedia menemaniku di sini, berbagi cerita bagaimana merawat
bayi sampai dia tumbuh dewasa dan menjadikan dia anak yang sholeh seperti
dirimu.
Februari 2000
Sayang, aku begitu bahagia.
Cepatlah pulang. Rindu ini semakin hari semakin meninggi bak gunung pasir.
Tidakkah sedikitpun kau merinduiku? Terakhir sms-mu akan menghubungiku empat
bulan yang lalu. Tetapi sampai saat ini kau tidak pernah mengabari keadaanmu di
sana. Adakah kau bahagia? Begitu sibukkah dirimu? Terlalu banyakkah proyek yang
harus kau selesaikan hingga kau tidak sempat merinduiku. Bahkan mungkin
mengingatku.
Begitu banyak pertanyaan menari
dibenakku menunggu jawabmu. Tolong jawab sayang, jangan biarkan aku gelisah
menunggumu di sini. Sedikit kabar darimu mampu mensuplai energiku yang semakin
hari semakin berkurang karena menanggung beban rindu padamu. Atau jangan-jangan
kau telah mempunyai belahan jiwa yang baru di sana dan melupakanku? Ah tidak
mungkin! Kau berjanji kembali untukku setelah pekerjaanmu selesai. Tetapi
kenapa begitu lama sayang? Dulu kau bilang hanya dua bulan di Jakarta. Tetapi
sekarang telah bulan kelima semenjak keberangkatanmu bulan September lalu. Kau
tak jua kembali.
Maret 2000
Aku tergugu mendengar apa yag
diucapkan dokter Jimmy dua hari yang lalu.
“Maaf ibu, ibu menderita penyakit
Leukemia Miekamusitik
Akut,”
“Apa? Dokter tidak sedang
bercanda kan?”
“Benar Bu,”
“Tapi kenapa bisa Dok? Apa
penyebabnya Dok?
“Leukimia bisa disebabkan oleh Radiasi, Leukemogenik,
Herediter
dan Virus.
Untuk sementara ibu bisa lakukan sistem therapi yang sering digunakan yaitu
kombinasi antara Chemotherapy dan pemberian obat-obatan yang berfokus pada
pemberhentian produksi sel darah putih yang tidak normal dalam sum-sum tulang.”
Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku
bisa menderita penyakit ganas seperti ini. Kuatkan aku Tuhan menjalani sisa
umur ini. Beri aku kesabaran agar ikhlas menerima ujian ini Rabb.
Mas, maafkan aku. Kita tidak
ditakdirkan menjalani hari tua bersama. Umurku tidak akan lama lagi mas, aku
divonis mengidap penyakit mematikan, Leukemia Miekamusitik Akut. Jika suatu saat kau
membaca coretan ini dan saat itu aku tak lagi disampingmu. Ikhlaskan
kepergianku Mas. Kutitipkan rindu pada angin yang akan menemani hari-harimu.
Semoga kau menemukan perempuan cantik yang menggantikan posisiku dihatimu. Aku
tidak tau, apakah sekarang kau telah menemukan penggantiku hingga membuatmu
lupa tanggung jawabmu sebagai imam di keluargamu. Sekarang aku ikhlas Mas jika
kamu tidak menghubungiku atau menanyakan kabarku. Dipenghujung doaku akan
selalu ada namamu. Berharap bahagia setia menemani setiap helaan nafasmu. Aku
tidak tahu kapan maut menjemputku. Yang aku tahu, aku punya sejuta rindu
untukmu. Aku begitu menyayangimu Mas. Sungguh berat melupakan kenangan kita.
Lima tahun biduk rumah tangga ini terjalin. Suka
duka kehidupan kita lalui bersama. Saat ini keikhlasanku diuji untuk melupakan
orang yang sangat aku sayangi. Jika esok pagi tidak ada lagi untukku, izinkan
aku meminta maaf atas kepergian tanpa izin ini. Begitu besar dosa yang
kulakukan karena telah pergi tanpa seizin imamku. Ketahuilah, kepergian ini
bukan maksud mengkhianatimu tetapi bukti cintaku untukmu Pangeranku. Mungkin
kontrakku telah habis untuk tinggal di bumi ini. Ikhlaskan dan maafkanku
sayang. Semoga kita dipertemukan di Syurga.
Cintamu
Alya
Ya Tuhan, Alya pergi karena menderita Leukimia. Tidak satupun yang tahu
tentang penyakitnya. Penantian yang panjang membuat hidupnya semakin berat. Kau
sungguh mulia, istri solehah. Perempuan Syurga. Aku suami yang bejat. Mungkin
ini lebih baik untukku.
Gunting yang berada diatas meja telah mendarat diperut Fikri. Seketika
malaikat maut menjemputnya.
***