Senin, 13 Agustus 2012

Resonansi Jiwa [8] Kearifan segenggam garam


Dahulu kala hiduplah seorang lelaki tua yang terkenal sholeh dan bijak. Di suatu pagi yang dingin datanglah seorang lelaki muda yang tengah di rundung masalah. Dengan langkah gontai dan rambut kusut masai ia tampak seperti orang yang tidak mengenal bahagia. Tanpa membuang waktu ia ungkapkan semua keresahannya. Impiannya yang gagal, karir, cinta dan hidupnya yang tidak pernah berakhir bahagia. Bapak tua yang bijak itu hanya mendengarkannya dengan teliti dan seksama. Tanpa berkata apa-apa ia hanya mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke dalam segelas air lalu mengaduknya dan berkata.
          “Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya,”
          Anak muda itu pun meminum air yang diberi garam oleh bapak tua tadi.
          “Ah cuih cuih, asin sekali, cuih, pahit pak,” jawab pemuda tersebut.
          Pak tua itu hanya tersenyum lalu mengajak tamunya berjalan ke tepi telaga yang ada di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Setelah menempuh perjalanan yang tidak terlalu jauh sampailah mereka di tepi telaga yang tenang. Masih dengan mata yang tenang dan penuh dengan cinta orang tua yang bijak itu menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu diaduknya air telaga yang membuat gelombang dan riak kecil. Setelah air telaga tenang ia pun berkata.
          “Anak muda, coba kamu cicipi air telaga tersebut dan minumlah.”
          Saat tamu itu selesai meneguk air telaga Pak tua berkata lagi.
          “Bagaimana rasanya?”
          “Hm… ini baru segar sekali rasa airnya pak tua,” jawab lelaki tersebut.
          “Dan apakah kamu masih merasakan garam di dalam air tersebut?” tanya pak tua.
          “Hm sepertinya tidak. Sedikitpun tidak ada rasa asin,” jawab si anak muda.
          Mendengar hal itu dengan bijak pak tua itu menepuk-nepuk punggung anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di tepi telaga dan berkata.
          “Anak muda pahitnya kehidupan seumpama segenggam garam. Tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama dan memang akan tetap sama. Tapi kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah atau tempat yang kita miliki.”
“Kepahitan itu selalu berasal dari bagaimana kita meletakkan segalanya dan itu tergantung pada hati kita. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup. Hanya ada satu hal yang boleh kita lakukan. Lapangkanlah dada untuk menerima semuanya. Luaskan hati untuk menampung semua kepahitan tersebut. Luaskan wadah pergaulan supaya kita mempunyai pandangan hidup yang luas. Maka kita akan banyak belajar dari keleluasaan itu.”
“Hati adalah wadah itu. Perasaan adalah tempat itu. Kalbu adalah tempat menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hati seperti gelas buatlah laksana telaga yang mampu meredam semua kepahitan itu dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Tidak ada komentar:

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...