Kamis, 04 Juli 2013

Makalah : Sosiologi Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN


Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal atau diakui masyarakat. Pendidikan juga merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap Negara. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Th 2003, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah proses yang dilakukan oleh perencana pendidikan bagi peserta didik.

Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan dan metode pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.

Tujuan utama melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Tindak lanjut tersebut dapat berupa penempatan pada tempat yang tepat, pemberian umpan balik, diagnosis kesulitan belajar siswa dan penetuan kelulusan[1].

Dengan demikian, evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.

Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah yang  merupakan bentuk lain daripada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Pada dasarnya usaha-usaha yang dilakukan oleh  pemerintah dalam meningkatkan kualitas anak didik dan sekolah sangat bagus dan nilai Ujian Nasional (UN) dijadikan sebagai patokan kualitas siswa atau sekolah. Sangat ironis sekali jika seorang siswa dinyatakan lulus atau tidak hanya berdasarkan beberapa mata pelajaran saja seperti ; bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Inggris, Sejarah Nasional dan Geografi Nasional. Bagaimana dengan mata pelajaran lainnya yang tidak diikutkan dalam ujian nasional (UN)? untuk apa siswa belajar itu selama tiga tahun? Kenapa nilai mata pelajaran lain tidak turut diperhitungkan sebagai ukuran kelulusan siswa? apakah mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN) merupakan standar untuk menentukan kualitas pendidikan suatu Negara ataukah ujian nasional (UN) hanyalah keputusan politik, Apakah proposional UN jadi standar kelulusan siswa? Efektifkah UN sebagai sebuah standar kelulusan siswa?

Berbagai pertanyaan timbul seiring dengan pelaksanaan UN bagi siswa-siswa disekolah. Di satu pihak ada yang mendukung pelaksanaan UN tetap dipertahankan, akan tetapi disisi lain ada juga yang menginginkan agar UN di sekolah dihapuskan. Inilah yang sering disebut kubu Pro Kontra.

Untuk melihat seberapa penting pelaksanaan UN di sekolah, sebaiknya kita tinjau mengenai pelaksaanaan UN pertama kali di sekolah, bagaimana proses pelaksanaannya, standar UN dan beberapa ketimpangan yang terjadi selama UNdijalankan.
   


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Ujian Akhir Nasional
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem ujian nasional telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan,  adapun perkembangan ujian nasional tersebut, yaitu:
1.      Pada periode 1950-1960-an, ujian akhir disebut Ujian Penghabisan. Ujian Penghabisan diadakan secara nasional dan seluruh soal dibuat Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Seluruh soal dalam bentuk esai. Hasil ujian tidak diperiksa di sekolah tempat ujian, tetapi di pusat rayon.[2]

2.      Periode 1965-1971
Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk hampir semua mata pelajaran. Bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.

3.      Periode 1972-1979
Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah di mana setiap atau sekelompok sekolah  menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemrosesan hasil ujian semuanya ditentukan oleh masing-masing/kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum.

4.      Periode 1980-2000
Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang “sama” dan dapat dibandingkan antar sekolah, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal yang “paralel” untuk setiap mata pelajaran, dan penggandaan soal dilakukan di daerah.

5.      Periode 2001-2004
Sejak tahun 2001, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN) sejak tahun 2002. Perbedaan yang menonjol antara UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun 2003. Dalam EBTANAS, kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q), dan nilai EBTANAS murni (R), sedangkan kelulusan siswa pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.

6.      Periode 2005-sekarang
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB.

7.      Periode 2008 - sekarang
Untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.[3]


B.     Standar Ujian Akhir Nasional[4]
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 45 Th 2006 tentang Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2006/2007 dan ditunjang dengan Prosedur Operasi Standar UN. Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menentukan standar mutu pendidikan. Kebijakan tersebut merupakan keputusan politik atau politik pendidikan, yang menyangkut kepentingan berbagai pihak, bahkan dalam batas-batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan (Mulyasa, 2004:180).  Selaku tenaga kependidikan kita setuju perlunya ujian untuk mengetahui sejauhmana keefektifan berbagai upaya yang dilakukan dalam proses pendidikan, apakah telah membuahkan hasil yang memuaskan.

Pemerintah telah menetapkan nilai standar kelulusan UN minimal yang harus dicapai oleh peserta didik dalam kelulusan. Tujuan pemerintah memang baik untuk mendongkrak kualitas pendidikan, dengan menetapkan standar minimal kelulusan 4,01 karena standar duniapun 6,0, jadi wajar kalau pemerintah menetapkan hal tersebut.[5]

C.    Proses Ujian Akhir Nasional
Dana ratusan milyard rupiah untuk penyelenggaraan UAN bisa diminimalkan dengan cara desentralisasi. Contoh simpel dan konkrit yang menyangkut UAN adalah dana penggandaan naskah dan koreksi lembar jawab. Pengelolaan kedua hal tersebut bisa diserahkan kepada sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten. Dan Pemerintah Pusat hanya menyediakan master soal dalam bentuk disket sedangkan untuk pencetakannya dilakukan oleh sekolah dengan subsidi dari pemerintah. Kemudian untuk koreksi lembar jawab tidak perlu dilakukan terpusat di Propinsi, karena sebetulnya sekolah atau Dinas Pendidikan Kabupaten pun mampu melaksanakan tugas tersebut. Baru dari dua poin itu saja sudah bisa dilakukan efisiensi jutaan rupiah.

Agar UAN berfungsi seperti yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pengendali mutu yang bermuara pada pengembangan SDM Indonesia, hendaknya UAN punya ruh yang mampu memberikan motivasi berprestasi dan berkompetisi antar siswa, serta guru-gurunya. Bagi siswa jurusan IPA, mapel UAN seolah tidak menyentuh esensi apa yang selama ini dipelajari. Ciri khas jurusan yang menjadi kebanggaanya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi, tak begitu bermakna bila dibanding dengan mapel UAN. Makna mengapa siswa mengambil jurusan IPA merupakan pilihan azasi yang berkait dengan pilihan hidup. Untuk itu UAN harus bisa dimaknai oleh siswa. Dengan demikian ada salah satu alasan bagi siswa mengapa harus berpacu belajar sains. [6]
D.    Kecurangan Ujian Akhir Nasional
Dalam pelaksanaa UN, masih ada terjadi kecurangan yang dapat dilakukan oleh guru yang ingin membantu siswanya, maka ujian nasional telah menjadi kekuatiran bagi banyak pihak, baik pihak penguji, pihak yang diuji maupun pihak penyelenggara pendidikan.

Pihak penguji, dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan mengkuatirkan terjadinya kebocoran soal-soal ujian. Oleh sebab itu mereka melakukan pengawalan ekstra ketat terhadap soal-soal ujian hingga melibatkan pihak kepolisian lebih besar lagi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Selanjutnya pihak yang diuji, dalam hal ini para siswa, kuatir tidak dapat lulus ujian. Oleh sebab itu mereka berusaha mendapatkan bocoran soal-soal ujian, dengan tujuan agar dapat lulus ujian. Sedangkan dari pihak penyelenggara pendidikan, dalam hal ini pihak yayasan, kepala sekolah atau guru, demi mempertahankan atau meningkatkan prestise lembaganya, mereka rela berbuat curang. Berbagai macam cara ditempuh oleh para penyelenggara pendidikan agar tingkat kelulusan bisa mencapai 100 persen. Sebab sudah tertanam dalam benak publik bahwa sekolah yang berhasil mencapai kelulusan 100 persen adalah sekolah yang terbaik dan akan diminati oleh masyarakat. Kecurangan itu bukan saja terjadi pada saat pendistribusian soal, tetapi dapat terjadi pada saat ujian nasional tersebut berlangsung. Masalah mau berbuat curang atau tidak, semua itu memang bergantung pada hati nurani masing-masing. Memang hati nurani dapat berfungsi mengarahkan seseorang pada jalan yang benar. Masalah apakah mereka mau berbuat curang  atau tidak itu tergantung dari keputusan yang diambil, apakah mereka mau menuruti suara hati nurani atau tidak.[7]

Dari pengalaman, pengamatan, dan berbagai sumber bacaan beberapa motif kecurangan yang kerap dilakukan dalam ujian adalah :
1.      Kiriman jawaban melalui SMS. Ini merupakan motif yang paling mudah dalam beberapa tahun terakhir meski membawa hand phone ke dalam ruangan UN dilarang. Tetapi, berbagai media melaporkan bahwa motif ini merupakan bentuk kecurangan dalam UN yang cukup tinggi.
2.      Hati-hati dengan tissu! Sejatinya benda ini digunakan untuk mengelap keringat atau ingus. Tetapi, dalam pelaksanaan UN tissu kadang kala menjadi media yang digunakan untuk menulis jawaban dan dengan mudah dilihat dan diedarkan. Kadang kala dalam ujian, tissu dipakai siswa untuk mengelap kotoran pada Lembar Jawaban Komputer (LJK), untuk hal seperti ini tidak ada masalah.
3.      Siswa keluar ke WC. Dengan alasan yang sangat manusiawi, sejumlah peserta UN kadang kala meminta izin kepada pengawas untuk ke WC. Namun, ini juga kadang dimanfaatkan untuk berbuat curang.
4.      Catatan kecil. Ini merupakan motif umum yang kerap digunakan oleh siswa dengan membuat catatan kecil dikertas yang kira-kira berukuran 10 x 10 cm yang berisi jawaban.
5.      Menulis dianggota tubuh yang tersembunyi. Dibagian-bagian tubuh yang sulit seringkali dijadikan media kecurangan dalam UN dengan menuliskan catatan tertentu atau jawaban yang dibuat  orang tertentu.
6.      Oknum tertentu yang nekad masuk ruangan UN.[8]

Ini merupakan motif yang patut diwaspadai dalam ujian karena hal demikian pernah dilakukan. Tentu kita berharap bahwa UN kelak akan berlangsung tanpa kecurangan dan siswa lulus juga tanpa kecurangan. Berikut ini dua cara yang cukup popular di kalangan siswa SMU.
1.      Melakukan kecurangan dengan membeli jawaban.
Modus yang sering di gunakan adalah jawaban soal yang di ujikan melalui SMS. Harganya relatif murah, 1 soal berkisar antara 5.00.000,- hingga 2.000.000,- Murah jika di banding harus ngulang. Biasanya jawaban akan dikirim setelah 30 menit soal di buka atau diujikan.
2.      Magig Brain[9]


E.     Tim pemantau Ujian Akhir Nasional
Fenomena kecurangan dalam Ujian Nasional (UN) menghiasi berbagai media yang ada di Indonesia dari hari ke hari. Kecurangan muncul mulai dari siswa hingga kecurangan yang dilakukan oleh oknum guru. Mungkin memang fenomena kecurangan saat menjalani UN ini dikarenakan sistem pendidikan di Indonesia yang kurang baik. Sedikit banyak, ini disebabkan oleh kurang konsistennya penyelenggara pendidikan serta pemerintah.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, saat ini pemerintah berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan berbagai usaha antara lain membentuk Tim Pemantau Independen (TPI) dengan salah satu elemennya adalah Perguruan Tinggi yang meliputi dosen dan mahasiswa.

Menjadi anggota TPI bukan pekerjaan mudah. Menjadi anggota TPI akan membuat mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab serta membantu mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman. Menjadi anggota TPI, juga akan membantu meningkatkan mutu pendidikan dan meminimalisasi kecurangan, serta akan menjadikan mahasiswa memiliki pengetahuan dan pengalaman, melatih mahasiswa memiliki rasa tanggung jawab.

Keikutsertaan mahasiswa menjadi anggota TPI merupakan sebuah upaya untuk menjaga dan menjamin terlaksananya UN yang bebas dari kecurangan. TPI bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi kecurangan pada saat ujian seperti yang selama ini masih saja terjadi.[10]








F.     Pro kontra Ujian Akhir Nasional
Pengumuman Depdiknas tentang standar Ujian Nasional (UN) tahun ini membuat sejumlah murid was-was. Standar kelulusan dinaikkan 0,25 dari tahun lalu menjadi rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Dengan kenaikan standar nilai tersebut, pemerintah berdalih itu semata dilakukan demi pengujian dan peningkatan mutu pendidikan. Memang UAN bukanlah penentu mutlak kelulusan seseorang. Berdasarkan PP 19/ 2005 pasal 72 ayat 1 Peserta didik dinyatakan lulus apabila :
1.    Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
2.    Memperoleh nilai minimal 75 pada penilaian akhir untuk seluruh kelompok mata pelajaran :
a)      Agama dan Akhlak mulia.
b)      Kewarganegaraan dan Kepribadian
c)      Estetika
d)     Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
3.    Lulus Ujian Sekolah untuk kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4.    Lulus Ujian Nasional
Akan tetapi muncul pertanyaan haruskah pengujian dan peningkatan mutu pendidikan diukur dengan kenaikan standar kelulusan? Ujian akhir yang dikenal dikalangan siswa sebagai UAN (untuk SMP dan SMA) dan UASBN (untuk SD) merupakan kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada tingkat pendidikan dasar dan menegah. Pelaksanaan UAN sendiri terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan PP No. 19 Tahun 2005 sebagai peraturan lanjutan. Namun, sejak pelaksanaannya pada tahun 2004, UAN terus mengundang pro dan kontra dalam masyarakat. Menurut KPAI, UN menjadi pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapat pendidikan. Hal ini karena munculnya stigma negatif bagi mereka yng tidak lulus. Selain itu, ada sejumlah hal yang dianggap buruk dalam penerapannya,seperti :
1.      UAN hanya mempertimbangkan faktor kognitif siswa saja. Ini terlihat dari mata pelajaran yang diujikan dalam UAN. Sebagai contoh: siswa-siswa yang duduk di SMA kelas IPA. Mata pelajaran yang diujikan hanya Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Fisika, Kimia, dan Biologi. Padahal sebenarnya, siswa-siswa yang duduk di kelas IPA bukan hanya belajar enam mata pelajaran itu saja. Mereka juga belajar hal-hal lain semisal olahraga dan seni. Dengan cara seperti itu, pemerintah seolah mendiskreditkan mata pelajaran lain karena hanya 6 dari 15 mata pelajaran yang ada yang diujikan.

2.      UAN tidak mempertimbangkan faktor psikologi anak dalam pengerjaan soal. Padahal tidak tertutup kemungkinan seorang anak tidak bisa mengerjakan suatu soal karena ia dalam kondisi psikologi tidak baik. Contoh anak-anak dalam keadaan rumah tangga tidak harmonis atau anak yang sedang dalam keadaan menderita sakit flu. Tetapi hal tersebut tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan UAN. Padahal faktor psikologi anak menjadi penentu mampu tidaknya seorang anak dalam mengerjakan sesuatu.

3.      UAN ibarat Tuhan yang menentukan masa depan seseorang tanpa memperhitungkan masa belajar seorang siswa dalam tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, jangan heran ketika pengumuman UAN, ada sejumlah anak yang berprestasi dapat tidak lulus. Bahkan tak jarang anak tersebut telah diterima di universitas negeri melalui jalur PMDK.

4.      Standar UAN yang dinaikkan sebenarnya kuranglah tepat apabila karena alasan peningkatan mutu pendidikan. Bahkan pemerintah berniat menaikkan standar kelulusan hingga mencapai angka kelulusan 6,00 seperti Malaysia. Banyak kalangan pemerhati pendidikan anak yang menyayangkan sikap pemerintah ini. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pemerintah memakai tolak ukur nilai tanpa memerhatikan kondisi sarana dan pra sarana suatu sekolah. Pemakaian standar nilai bukan memacu siswa untuk pintar melainkan hanya sekadar melalui standar nilai yang telah ditetapkan. Bahkan tak jarang murid membeli jawaban hanya sekadar lulus UAN.
Selain itu yang disayangkan dari sikap pemerintah yaitu membandingkan dengan negara lain semisal Malaysia dan Singapura soal standar kelulusan tanpa membandingkan pula alokasi anggaran pendidikannya. Padahal kalau membandingkan dengan negara tetangga terkait anggaran pendidikan, jelas kita tertinggal. Malaysia sendiri mengalokasikan 26% dari APBN negara tersebut untuk pendidikan. Sedangkan pemerintah kita baru tahun 2009 ini mengalokasikan anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan. Itu pun masih setengah hati karena dimasukkannya juga anggaran pendidik di dalamnya.

Tetapi, di balik aspek negatif yang terdapat dalam pelaksanaan UAN, terdapat pula aspek positifnya antara lain sebagai berikut;
1.      Pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan. Hal ini guna penyamarataan mutu pendidikan tiap daerah.
2.      Memudahkan proses seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi ini berlaku pada uan di tingkat pendidikan dasar. Sedangkan pada tingkat pendidikan menengah, uan hanya sebagi pengukur kelulusan secara nasional walaupun ada wacana untuk menjadikan uan sebagai tolak ukur masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.
Akan tetapi, di balik segala kekontroversialan yang dimiliki UAN, pelaksanaan UAN haruslah dihargai karena merupakan satu upaya pemerintah demi kemajuan pendidikan bagi bangsa ini.[11]
Dari tahun ke tahun penyelenggaraan Ujian Nasional selalu diwarnai dengan pro-kontra. Di satu pihak ada yang meyakini  bahwa Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa masih tetap diperlukan. Tetapi di lain pihak, tidak sedikit pula yang menyatakan menolak Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan siswa. Masing-masing pihak tentunya memliki argumentasi tersendiri.
Jika dilihat, tidak ada gunanya pemerintah menaikkan standar UN, meskipun pemerintah berdalih dengan dinaikkannya standar UN berarti akan meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi dalam kenyataannya, ketika standar UN dinaikkan maka yang namanya kecurangan akan terus terjadi. Ini semua disebabkan berbagai faktor, ada sebagian sekolah yang gengsi jika siswanya ada yang tidak lulus, karena ini akan menyebabkan citra sekolah buruk.  Maka mereka berusaha dengan menghalalkan segala cara untuk memberikan bantuan kepada siswanya. Sehingga selama ujian terjadilah berbagai kecurangan.
Tidak mengherankan jika sebagian sekolah bangga dengan kelulusan siswanya sampai 100%. Padahal ada sesuatu dibalik semua itu. Jika kecurangan ini masih terus dilakukan, berarti tidak ada gunanya siswa belajar bertahun-tahun. Pada akhirnya di saat mereka ujian akan mendapatkan bantuan jawaban. Dan anehnya, siswa pun senang ketika memperoleh bantuan jawaban. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah pembodohan massal. Tetapi hal itu tidak disadari, karena yang ada dalam pikiran mereka bagaimana caranya bisa lulus sekolah dengan nilai yang memuaskan.
Dilihat pihak yang menginginkan agar UN dihapuskan, sama saja dengan nihil jika tidak UN, karena UN merupakan salah satu tolok ukur melihat kesuksesan siswa selama proses pembelajaran dilakukan. Jika UN dihapuskan maka siswa tidak akan termotivasi untuk belajar. Karena menurut mereka untuk apa susah-susah belajar, karena ujian juga tidak akan ada.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa UN merupakan sesuatu yang penting dalam proses pendidikan, meskipun banyak pihak yang kurang setuju dengan diadakannya UN. Tetapi UN memberikan gambaran sukses atau tidaknya proses pendidikan yang dilakukan pemerintah. UN sebagai bahan pertimbangan untuk di masa yang akan dating dalam rangka perbaikan sistem pendidikan kea rah yang lebih baik.
  
B.     Saran
Dengan adanya pembahasan mengenai pro kontra mengenai UN ini, diharapkan sistem pendidikan di Negara kita akan  lebih baik dari yang sebelumnya.
Dalam pembahasan ini, penulis mengakui masih banyak terdapat kekurangan, baik dari segi penulisan kata maupun pemaknaannya yang kurang tepat. Oleh karena itu penulis mohon kritikan dan saran dari pembaca.















DAFTAR PUSTAKA


Undang-undang SISDIKNAS th 2003. Jakarta ; Sinar Grafika
Daryanto, Evaluasi Pendidikan, 2007, Jakarta : Rineka Cipta


[1] Daryanto, Evaluasi Pendidikan, 2007, Rineka Cipta, hal 11
[5]ibid

Tidak ada komentar:

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...