Jumat, 05 Juli 2013

Tugas Orang Tua dalam Perspektif Al-Quran




 





TUGAS MANDIRI

TAFSIR TARBAWI


Tentang


TUGAS ORANG TUA DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN
(Dengan Pendekatan Tafsir Tematik)





Oleh

Zuraini Juita
206 342




Dosen pembimbing

Drs. H. Syahril Tanjung, M. A




PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA
JURUSAN  TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BATUSANGKAR
2009




Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kehadirat Yang Maha Kuasa karena dengan pertolonganNya penulis telah bisa menyelesaikan makalah mini ini. Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Tarbawi yang dibimbing oleh Bapak Drs. Syahril Tanjung, M. A. Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada Nabi Junjungan Alam yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah berjuang menegakkan panji-panji Islam di muka bumi ini.

Dalam tugas pembuatan karya ilmiah ini penulis dipercayakan oleh dosen pembimbing mata kuliah tafsir tarbawi untuk membahas mengenai ”Tugas Orang Tua Dalam Perspektif Alquran”. Meskipun dengan berbagai rintangan yang penulis hadapi seperti kesulitan dalam mencari tema dalam Mu’jam Al Mufaras, mendapatkan bahan-bahan yang berhubungan dengan tema penulis dari tafsir-tafsir yang sebelumnya belum penulis ketahui seperti Tafsir Al-Maraghi, Tafsir Al-Misbah, Tafsir Al-Jalalain 1 dan 2, dan beberapa tafsir yang menunjang perkuliahan ini. Hal ini disebabkan karena penulis berasal dari Program Studi Eksak yaitu Tadris Matematika sehingga penulis agak kesulitan dalam melengkapi bahan-bahan makalah ini. Tetapi, rintangan ini penulis anggap sebagai tantangan dalam menimba ilmu dan menyelesaikan makalah ini, karena seperti pepatah ”kesuksesan itu butuh perjuangan”. Dan berkat semangat yang tinggi akhirnya penulis bisa menyelesaikan makalah ini, meskipun masih banyak terdapat kekurangan didalamnya.

Terakhir, tiada kata yang bisa penulis ucapkan kepada Bapak yang membimbing penulis dalam penyelesaian tugas ini selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Karena dengan adanya tugas ini, membuka cakrawala penulis tentang hal-hal yang berhubungan dengan tafsir. Sehingga hal ini bisa menambah pengetahuan agama penulis, meskipun penulis bukan dari program studi agama.

Penulis



TUGAS ORANG TUA MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN
(dengan Pendekatan Tafsir Tematik)

A.    Latar Belakang Penulisan
Alqur’an sebagai kitab suci umat Islam yang memiliki tingkat keaslian serta keluasan pembahasan dalam ilmu pengetahuan tidak akan pernah kering dari panafsiran, ibarat lautan tanpa batas yang tidak akan pernah kering di minum oleh zaman, oleh karena itu penafsiran dalam Al Qur’an tidak akan pernah mencapai titik akhir kecuali atas kehendak Allah, Al Qur’an sendiri diturunkan Alloh sebagai kitab terakhir bagi umat di alam semesta artinya tidak akan ada lagi kitab suci yang akan di turunkan oleh Alloh SWT.

Kehidupan yang dijalani manusia di muka bumi ini harus berpegang teguh kepada dua pusaka yang ditinggalkan Nabi Muhammad SAW, salah satunya Al Quran. Dengan adanya Al Quran diharapkan manusia tidak menyimpang dari jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mendalami Al quran adalah dengan mempelajari Tafsir Al quran. Didalam Tafsir Al Quran ini akan diketahui apa maksud dari ayat-ayat yang telah diturunkanNya, agar manusia bisa menyiapkan bekal untuk akhirat.

Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Namun sejalan dengan bertambahnya usia sang anak, muncul “agenda persoalan” baru yang tiada kunjung habisnya. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan santun, penuh berbakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik dengan lingkungan masyarakatnya, tapi di lain pihak dapat pula sebaliknya. Perilakunya semakin tidak terkendali, bentuk kenakalan berubah menjadi kejahatan, dan orangtua pun selalu cemas memikirkanya.

Keluarga merupakan pijakan dasar bagi pendidikan anak, baik itu pendidikan akhlak maupun pendidikan umum, terutama pendidikan agama yang berkaitan dengan Tauhid. Lingkungan yang paling dekat anak adalah lingkungan keluarga. Oleh karena itu sangat diharapkan keluarga terutama orang tua mampu memberikan pendidikan tauhid kepada anaknya, sehingga bisa menjadi bekal bagi seorang anak dalam mengharungi samudera kehidupan.

Sesungguhnya sejak lahir anak dalam keadaan suci dan telah membawa fitrah beragama, maka orang tuanyalah yang merupakan sumber untuk mengembangkan fitrah beragama bagi kehidupan anak dimasa depan. Sebab cara pergaulan, aqidah dan tabiat adalah warisan orang tua yang kuat untuk menentukan subur tidaknya arah pendidikan terhadap anak. Didasari dengan sebuah hadits yang mengatakan bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, bersih, dan sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai orang Yahudi, Majusi atau Nasrani”. Beranjak dari hadits ini, maka keberadaan orang tua sangat penting dalam kehidupan seorang anak, sebagai orang yang pertama kali memeberikan pendidikan kepada anaknya.

B.     Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
1.      dalam rangka memenuhi tugas akademik mata kuliah Tafsir Tarbawi.
2.      untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara tugas orang tua dalam Al-Quran dengan pendidikan terhadap anak.
3.      untuk menambah wawasan penulis khususnya dan pembaca umumnya.

C.    Batasan Masalah
Mengingat tugas orang tua dalam mendidik seorang anak sangat luas cakupannya, maka penulis membatasi pembahasan dalam makalah ini. Penulis hanya membahas mengenai tugas orang tua dalam mendidik anak yang berhubungan dengan pendidikan tauhid.

D.    Pengertian Tugas orang tua
Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan bapak juga yang mengasuh dan yang telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak.

Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya. Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalan dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Jadi, orangtua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak-anak.


E.     Langkah-langkah Tafsir Tematik
Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan tema ini adalah sebagai berikut :
1.      Menetapkan masalah yang akan dibahas (tema)
2.      Melacak ayat-ayat yang berkaitan dengan tema
3.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema
4.      Menyusun tuntutan ayat sesuai dengan masa turunnya
5.      Mengetahui korelasi antara sebuah ayat dengan ayat lainnya.

Berdasarkan hasil penelusuran dari Kitab Al-Mu’jam Al-Mufaras karangan Muhammad Fuad Abdul Baqi, ternyata yang terkait dengan kata kunci    (                        ) ditemukan ada 110 potongan ayat terdiri dari 41 surat. Kemudian setelah penulis teliti dengan cermat ternyata yang berhubungan dengan tema tugas orang tua (ayah) menurut perspektif Al-Quran ada 2 ayat dari 2 surat yaitu :
1.      Al-Baqarah / 2             : 34, 133
2.      Q.S. As-Shaffat / 37   : 102

Dalam pembahasan ini penulis hanya membahas tentang surat As-Shaffat ayat 102.



TUGAS ORANG TUA MENURUT PERSPEKTIF AL-QURAN
(DENGAN PENDEKATAN TAFSIR TEMATIK)

Berdasarkan hasil penelusuran dari Kitab Al-Mu’jam Al-Mufaras karangan Muhammad Fuad Abdul Baqi ternyata yang berkaitan dengan kata (           ) dan (         ), ditemukan 2 ayat dari 2 surat yaitu :
No
Surat / Ayat
Urutan dalam Al-Quran
Urutan Asbabun Nuzul
Jenis Ayat
1.
2.
3
AlBaqarah/ 233
As-Shaffat/ 102
Luqman / 14
2
37
31
87
56
57
Madiniyah
Makkiyah






Artinya : ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf

 
Artinya :  Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."



PENJELASAN MENURUT PARA MUFASIR

Selanjutnya penulis akan menjelaskan maksud ayat-ayat yang berkaitan dengan tema dengan mengemukakan pendapat ahli tafsir, sebagai berikut :
1.       

Artinya : ”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf

Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan batas penyusuan itu ”selama dua tahun bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuannya”. Dengan keterangan yang jelas dari ayat ini yaitu masa susuannya itu selama-lamanya adalah sampai anak berumur dua tahun.
Mengenai hal ini, Zufar bin Huzail berpendapat bahwa selama anak itu masih dapat mencukupkan susuan ibunya sebagai makanan pokok dan dia tidak diberhentikan menyusui walaupun selama tiga tahun maka dia dinamakan juga anak yang masih menyusu.[1]




2.       
Artinya :  Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."

Dibawah ini akan diuraikan mengenai tugas orang tua menurut perspektif al-Quran ditinjau dari berbagai tafsir. Adapun pembahasan tersebut adalah :
1.      Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi[2]
Dan tatkala Ismail menjadi besar, tumbuh dan dapat pergi bersama ayahnya berusaha melakukan pekerjaan-pekerjaan dan memenuhin keperluan-keperluan hidupnya, maka berkatalah Ibrahim kepadanya, ” Hai anakku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku menyemblih kamu. Maka, bagimanakah pendapatmu. Mimpinya itu dia ceritakan kepada anaknya, dia tahu bahwa yang diturunkan kepadanya adalah cobaan Allah. Sehingga ia hendak meneguhkan hatinya kalau-kalau dia gusar dan hendak menentramkan jiwanya untuk menunaikan penyemblihan, disamping agar dia menginginkan pahala Allah dengan tunduk kepada perintahNya.
Kemudian, Allah menerangkan bahwa Ismail itu mendengar dan patuh serta tunduk kepada apa yang diperintahkan kepada ayahnya.
Ismail berkata: ”Hai Ayahku, engkau telah menyeru kepada anak yang mendengar dan engkau telah meminta kepada anak yang mengabulkan dan engkau telah berhadapan dengan anak yang rela dengan cobaan dan putusan Allah. Maka, Bapak tinggal melaksanakan saja yang diperintahkan, sedang aku hanyalah akan patuh dan tunduk kepada perintah dan aku serahkan kepada Allah pahalanya, karena Dia-lah cukup bagiku dan sebaik-baik tempat berserah diri.
Setelah Ibrahim berbicara kepada anaknya dengan ucapan, Ya Bunayya, sebagai ungkapan kasih sayang, maka dijawab anaknya, dengan mengucapkan Ya Abati, sebagai ungkapan tunduk dan hormat dan menyerahkan urusan kepada ayahnya sebagaimana yang dia rundingkan dengannya. Dan bahwa kewajibannya hanyalah melaksanakan apa yang dipandang baik oleh ayahnya.
Kemudian, dia tegaskan tentang kepatuhannya kepada perintah dengan katanya: aku akan sabar menerima putusan dan sanggup menanggung penderitaan tanpa gusar dan tanpa gentar dengan apa yang telah ditakdirkan dan diputuskan. Dan memang benar-benar Ismail menepati apa yang dia janjikan dan melaksanakan dnegan baik kepatuhan dalam menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya.


2.      Menurut Hafizh Dasuli, dkk dalam Tafsir Universitas Islam Indonesia[3]
Allah SWT menerangkan ujian yang berat bagi Ibrahim as, ketika Allah SWT memerintahkan kepadanya agar dia menyemblih anaknya satu-satunya sebagai korban disisi Allah. Ketika itu Ismail as mendekati masa baligh, masa remaja, suatu tingkatan umur sewaktu anak dapat membantu pekerjaan orang tuanya. Ibrahim as dengan hati yang sedih memberitahu kepadanya tentang perintah Tuhan yang disampaikan kepadanya melalui mimpi dan dia minta pula pendapat anaknya mengenai perintah itu.
Perintah Tuhan itu berkenaan dengan penyemblihan diri anaknya sendiri, yang merupakan cobaan yang besar bagi orang tua dan anak. Sesudah mendengarkan perintah Tuhan itu, Ismail as dengan segala kerendahan hati berkata kepada ayahnya agar melaksanakan segala apa yang diperintahkan kepadanya. Dia akan taat, rela dan ikhlas menerima ketentuan Tuhan serta menjunjung tinggi segala perintahNya lagi pasrah kepadaNya. Ismail yang masih sangat muda itu mengatakan lagi kepada orang tuanya bahwa dia tidak akan gentar menghadapi cobaan itu, tidak akan ragu-ragu menerima Qada dan Qadar Tuhan dan dia dengan tabah dan sabar menahan derita penyemblihan itu.

3.      Menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid [4]
Ibrahim memohon agar kepadanya diberikan anak. Allah mengabulkan doanya dan dengan perantaraan malaikat dengan menggembirakannya memberikan seorang anak yang mulia perangainya dan sangat halim hatinya. Sesudah putranya itu lahir dan sudah dapat membantu pekerjaan orang tuanya mencari penghidupan, pada suatu hari berkatalah Ibrahim kepadanya : ” wahai anakku, aku bermimpi menyemblihmu, maka bagaimana pendapatmu.”
Ibrahim menerangkan mimpinya itu supaya anaknya mengetahui bencana apa yang akan menimpa dirinya dan dapatlah dia menguatkan hatinya.
Mimpi orang-orang yang saleh adalah satu suluh dari cahaya allah, sedang mimpi Nabi dipandang sebagai wahyu yang tak boleh ditolak. Ibrahim bermimpi menyemblih anaknya dan itulah permulaan mimpinya. Walaupun ibrahim sangat mencintai anaknya itu, tetapi sebagai seorang rasul, dia tetap melaksanakan tugasnya. Diapun mengemukakan mimpinya itu kepada anaknya, supaya si anak sendiri dapat mengemukakan pendapatnya.
Ismail menjawab: ”Wahai Ayah, ayah memanggil seorang yang mendengar seruanmu dan ayah meminta kepada orang yang memperkenankan permintaanmu, maka perbuatlah apa yang diperintahkan ayah lakukanlah. Tugasku hanya mengikuti dan menurut perintah..”
Untuk meneguhkan kerelaannya Ismail berkata lagi : Aku akan sabar atas qadha Allah dan akan aku pikul beban ini dengan tidak berkeluh kesah. Pada diri pribadi Ismail terpancar penghayatan iman yang benar dan penyerahan diri yang sempurna serta sabar dan rela akan qadha Allah.

4.      Menurut Imam Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam Tafsir Jalalain[5]
(Maka tatkala anak itu sampai pada umur sanggup - berusaha bersama-sama Ibrahim) yaitu telah mencapai usia sehingga dapat membantunya bekerja, menurut suatu pendapat umur anak itu telah mencapai tujuh tahun.
Menurut pendapat lain, pada saat itu anak Nabi Ibrahim berusia tiga belas tahun. Ibrahim berkata: ”Hai anakku, sesungguhnya aku melihat, maksudnya telah melihat (dalam mimpi bahwa aku menyemblihmu!) mimpi para Nabi adalah mimpi yang benar dan semua pekerjaan mereka berdasarkan perintah dari Allah SWT.
(Maka pikirkanlah apa pendapatmu!) tentang impianku itu; Nabi Ibrahim bermusyawarah dengannya supaya ia menurut, mau disemblih, dan taat kepada perintahNya.
(Ia menjawab : ”Hai Bapakku”) kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu untuk melakukannya (Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar) menghadapi hal-hal tersebut.

5.      Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah[6]
Ayat sebelum ini menguraikan janji Allah kepada Nabi Ibrahim as tentang perolehan anak. Demikianlah hingga tiba saatnya anak tersebut lahir dan tumbuh berkembang, maka tatkala ia yakin sang anak itu telah mencapai usia yang menjadikan ia mampu berusaha bersamanya yakni bersama Nabi Ibrahim, ia yakni Nabi Ibrahim berkata sambil memanggil anaknya dengan panggilan mesra : ” Hai anakku, seseungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyemblihmu dan engkau tentu tahu bahwa mimpi para Nabi adalah wahyu ilahi. Jika demikian itu halnya, maka pikirkanlah apa pendapatmu tentang mimpi yang merupakan perintah Allah itu!”.

Ia yakni sang anak menjawab dengan penuh hormat : ” Hai Bapakku, laksanakanlah apa saja yang sedang dan akan diperintahkan kepadamu termasuk perintah menyemblihku; engkau akan mendapatiku Insya Allah termasuk kelompok para penyabar. Nabi Ibrahim as menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Ini agaknya karena beliau memahami bahwa perintah tersebut tidak dinyatakan sebagai harus melaksanakannya kepada sang anak. Yang perlu adalah bahwa ia berkehendak melakukannya. Bila ternyata sang anak membangkang, maka itu adalah urusan ia dengan Allah. Ia berkata itu akan dinilai durhaka, tidak ubahnya dengan anak Nabi Nuh as yang membangkang nasihat orang tuanya.

Ayat diatas menggunakan bentuk kata kerja mudhari’ (masa kini dan datang) pada kata-kata ara/saya melihat dan adzbahuka/saya menyemblihmu. Demikian juga kata tu’mar/diperintahkan. Ini untuk mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lihat itu seakan-akan masih terlihat hingga saat penyampaiannya itu. Sedang penggunaan bentuk tersebut untuk kata menyemblihmu untuk mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi itu belum selesai dilaksanakan, tetapi hendaknya segra dilaksanakan.
Karena itu pula jawaban sang anak menggunakan kata kerja masa kini juga untuk mengisyaratkan bahwa ia siap dan bahwa hendaknya sang ayah melaksanakan perintah Allah yang sedang maupun yang akan diterimanya.
Ucapan sang anak if’al ma tu’mar/laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, bukan berkata:” Sembelihlah aku ”, mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni karena hal tersebut adalah perintah Allah SWT. Bagaimanapun bentuk, cara dan kandungan apa yang diperintahkanNya, maka ia sepenuhnya pasrah. Kalimat ini juga dapat merupakan obat pelipur lara bagi keduanya dalam menghadapi ujian berat itu.
Ucapan sang anak satajiduni insya Allah min ash-shabirin/Engkau akan mendapatiku Insya Allah termasuk para penyabar, dengan mengaitkan kesabarannya dengan kehendak Allah, sambil menyebut terlebih dahulu kehendakNya, menunjukkan betapa tinggi akhlak dan sopan santun sang anak kepada Allah SWT.
Tidak dapat diragukan bahwa jauh sebelum peristiwa ini pastilah sang ayah telah menanamkan dalam hati dan benak anaknya tentang Keesaan Allah dan sifat-sifatNya yang indah serta bagaimana seharusnya bersikap kepadaNya. Sikap dan ucapan sang anak yang direkam oleh ayat ini adalah buah pendidikan tersebut.


6.      Penafsiran Tauhid menurut Ensiklopedi Aqidah Islam[7]
Kata tauhid dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, menurut bahsa, kata tauhid berasal dari bahasa Arab, yaitu kata dasar ”wahhada” yang berarti ”pengetahuan bahwa sesuatu itu satu”, atau ”menjadikan sesuatu itu satu”. Kedua, menurut syara’ ialah ”mengesakan yang disembah dalam melakukan ibadah serta mengi’tikadkan dan membenarkan ke-Esaan-Nya pada Zat, sifat dan af’al (perbuatan) Nya”. Ketiga, menurut ahli kalam ialah ”ilmu pengetahuan yang mempelajari / membahas hal-hal yang wajib, mustahil dan jaiz pada zat serta sifat-sifat Allah dan pada zat-zat serta sifat-sifat Rasul.
Menurut ensiklopedi ini. Objek kajian tauhid ada tiga, yaitu :
1.      Al-Illahiyyat (masalah Ketuhanan), yaitu zat, sifat dan af’al Allah.
2.      Al-Nubuwwat (masalah Kenabian), yaitu rasul-rasul dan sifat-sifatnya.
3.      Al-Sam’iyyat (masalah yang diberitakan), yaitu masalah yang didengar melalui pemberitaan, baik langsung dari Allah berupa wahyu maupun dari rasul-Nya berupa Hadits, tentang alam akhirat, termasuk menyangkut Qadha dan Qadar.

7.      Penafsiran Tauhid menurut Ensiklopedi Islam Indonesia[8]
Tauhid secara harfiah bearti mengesakan atau menyatukan. Kata tauhid, yang dikehendaki disini, tidak lain dari tauhidullah, yang berarti mengesakan Allah atau dengan kata lain menyatakan bahwa Allah itu esa, satu atau tunggal.
Ajaran tauhid adalah ajaran yang paling kuat mendapatkan tekanan dalam Islam dan merupakan ajaran yang paling esensial dan sentral dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad.


Paling esensial dan sentralnya posisi ajaran tauhid, bukan hanya dalam agama Islam yang diajarkan oleh Nabi atau rasul terakhir (Nabi Muhammad), tetapi juga dalam agama Allah yang diajarkan oleh setiap Nabi dan Rasul-Nya sebelum Nabi Muhammad. Ini jelas terlihat dari informasi-informasi al-Quran tentang para nabi atau rasul dengan kaum-kaum yang meraka seru (QS. Al-A’raf : 59, 65, 73, 85, QS. Al-anbiya’ : 25) dll. Tidaklah berlebihan bahwa risalah yang diterima dan diajarkan oleh setiap nabi dan rasul, dari yang pertama sampai yang terakhir adalah risalah tauhid.

8.      Menurut Pemakalah
Menurut pemakalah, ajaran tauhid merupakan ajaran utama bagi seorang anak, karena ajaran tauhid merupakan bekal bagi anak dalam meniti jalanNya. Sehingga peranan orang tua terutama ayah sangat membantu dalam pendidikan tauhid bagi anak-anaknya.
Ajaran tauhid merupakan ajaran yang paling esensial bagi seorang muslim, Tauhid sangat erat kaitannya dengan tingkat keimanan seseorang yaitu keimanan sesorang ditentukan oleh penghayatannya terhadap tauhid. Semakin tauhid dikuasai secara benar, semakin dalam pula keimanan seseorang. Karena itu, apabila iman berperan fungsional dalam kehidupan, maka tauhid berperan dalam meningkatkan iman, sekaligus meningkatkan kualitas hidup.
Begitu pentingnya peranan tauhid dalam kehidupan seseorang sehingga sangat diharapkan orang tua mampu memberikan pendidikan yang berhubungan dengan tauhid ini. Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak, karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak mampu menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan berpengaruh dalam perilakunya sehari-hari.


3.     
Adapun mengenai pendidikan terhadap anak ini juga ditegaskan oleh Allah dalam Q.S Lukman ayat 13, yang berbunyi :[9]

Artinya : ”dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia menasihatinya: ”Hai anakku

Dalam ayat ini lafaz ya bunayya adalah bentuk tasgir, yang dimaksud adalah memanggil anak dengan nama kesayangannya- kemudian Luqman mengatakan kepada anaknya janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezaliman yang besar. Maka anaknya itu bertobat kepada Allah dan masuk Islam.

Setelah itu Allah juga menjelaskan pendidikan orang tua terhadap anaknya dalam Q.S Luqman ayat 14 :

Dan Kami wasiatkan kepada manusia terhadap kedua orang ibu bapaknya, maksudnya Kami perintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang ibu bapaknya, karena ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah ia lemah karena mengandung, lemah sewaktu mengeluarkan bayinya dan lemah sewaktu mengurus anaknya dikala bayi dan menyapihnya, tidak menyusuinya lagi dalam dua tahun. Hendaknya kami katakan kepadanya, bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang ibu bapaknya, hanya kepada Ku lah kembalimu.

Kemudian menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy dalam Tafsir Al-Quranul Majid [10] :

Ingatlah wahai rasul, pengajaran yang diberikan Luqman kepada anaknya, ketika dia menyuruh anaknya untuk menyembah Allah sendiri, melarang mempersekutukan Allah serta menerangkan bahwasanya syirik itu adalah suatu aniaya yang besar. Luqman berkata :”wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan sesuatu dengan Allah, karena mempersekutukan Allah itu adalah suatu kezaliman yang besar. Tak ada kezaliman yang lebih besar daripada ini.”

Kezaliman ialah meletakkan suatu pada bukan tempatnya. Orang yang menyamakan makhluk dengan Khalik, meyamakan berhala dengan Allah adalah orang yang menempatkan sesuatu pada bukan tempatnya yang benar. Karenanya pantaslah dia dinamai ”zalim”.

Inilah kedudukan ayah, yaitu memberi pengajaran kepada anak-anaknya dan menunjukkan kepada mereka kebenrana serta menjauhkan mereka dari kebinasaan.

Kemudian dalam ayat 14 dijelaskan  bahwa Allah memerintahkan manusia supaya berbakti kepada kedua ibu bapaknya, mentaatinya, melaksanakan segala haknya.

Manusia dikandung oleh ibunya dengan menderita kelemahan yang makin hari makin bertambah berat. Sesudah berumurdua tahun barulah anak itu tidak lagi disusui dan dalam mas adua tahun itu sang ibu menderita berbagai-bagai kesukaran yang hanya Allah yang dapat memberi nilainya.

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan supaya berbuat baik kepada orang tua, tetapi disini Allah hanya menerangkan sebab harus berbakti kepada ibu saja. Hal demikian karena kesukaran yang diderita oleh ibu lebih besar dari yang diderita ayah. Derita ibu adalah sejak dari dia mengandung, melahirkan dan menyusukannya sampai berumur lebih kurang dua tahun. Karenanya Nabi menandaskan kepada orang yang bertanya: ”siapakah yang lebih berhak menerima baktiku?”. Jawab Nabi: ”yang lebih berhak menerima baktimu adalah ibu”. Tiga kali Nabi menekankan yang demikian, barulah yang keempat nabi mengatakan ayahnya.

Sedangkan dalam lafaz ”anisy kur lii wa li waalidaika” Allah menuyuruh anak agar bersyukur kepada orang tua. Karena pada lahirnya, orangtualah yang menjadi sebab kepada berwujudnya manusia itu dan karena orang tua telah menderita berbagai kesukaran dalam mendidik dan mengasuh anaknya.

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah[11]dijelaskan bahwa ibunya telah mengandungnya dalam kelemahan yang bertambah-tambah, lalu dia melahirkannya dengan susah payah, kemudian memelihara dan menyusukannya setiap saat, bahkan ditengah malam, ketika saat manusia lain tertidur nyenyak. Demikian hingga tiba masa menypikannya dan penyapiannya di dalam dua tahun terhitung sejak hari kelahiran sang anak. Ini jika orang tuanya ingin menyempurnakan penyusuan. Wasiat

HADIS YANG BERHUBUNGAN DENGAN TEMA

Sabda Rasul SAW[12]:

Artinya :“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya nasrani, yahudi atau majusi. (HR. Bukhari).

Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Islam telah memberikan dasar-dasar konsep pendidikan dan pembinaan anak, bahkan sejak masih dalam kandungan . Jika anak sejak dini telah mendapatkan pendidikan Islam, Insya allah ia akan tumbuh menjadi insan yang mencintai Allah dan Rasul-nya serta berbakti kepada orangtuanya. Dalam mendidik anak orang tua hendaknya berperan sesuai dengan fungsinya. Masing-masing saling mendukung dan membantu. Bila salah satu fungsi rusak, anak akan kehilangan identitas.

Para orang tua harus meneladani Nabi Ibrahim AS dan Ya’qub AS yang senantiasa mewasiatkan anak-anaknya tentang agama ini. "Sungguh Allah telah memilih bagimu agama ini, maka janganlah  sekali-kali  kamu mati kecuali telah Islam secara benar" (QS:  Al  Baqarah:  132). Dalam QS. Al Baqarah 133 disebutkan bahwa Nabi Ya'qub AS sangat memperhatikan aqidah anak-anaknya apabila beliau wafat. Beliau menanyakan: "madzaa ta'buduuna  min  ba'di"  (Apa  gerangan  yang akan kamu sembah setelah kematianku?). 

Dasar-dasar pendidikan anak dalam Islam dapat disimpulkan dari berbagai ayat, antara lain  QS: Luqman: 12 - 19 dan QS: As Shafaat: 102, serta berbagai hadits Rasulullah SAW.


F.      Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dari beberapa tafsir diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran tauhid bagi seorang anak sangat penting. Karena ajaran tauhid merupakan ajaran yang paling kuat mendapatkan tekanan dalam Islam dan merupakan ajaran yang paling esensial dan sentral dalam Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad.

Sebagai orang tua (ayah) harus memberikan pendidikan mengenai tauhid ini kepada anak semenjak kecil, seperti yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim kepada anaknya. Berkat ajaran yang diberikan oleh Nabi Ibrahim tentang keEsaan Allah, anaknya rela disemblih oleh bapaknya karena mentaati perintah dari Allah. Anaknya yakin akan keesaan dan kekuasaan Allah sehingga dia rela menerima qadha dan qadar allah.

G.    Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis yakin masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritikan dan saran demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.


KEPUSTAKAAN

Abdul Baqi, Muhammad Fuad. Al-Mu’jam Al-Mufaras.
Rasyidi, Anwar. Tafsir Al-Maraghi. 1989. Semarang : PT. Karya Toha Putra Semarang
Hafizh Dasuli, dkk. Al-Quran dan Tafsirnya, (Universitas Islam Indonesia). 1995. jilid VIII. Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf

Hasbi ash Shiddiqy, Teungku Muhammad. Tafsir Al-Quranul Majid. 1995. Jakarta : CV. Rizky Grafis
al-Mahalli , Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin as-Suyuti. Tafsir Jalalain, jilid 2. 2006. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah : pesan, kesan dan keserasian al-quran. 2007. Jakarta : Lentera Hati

Harahap, Syahrin, Ensiklopedi Aqidah Islam.  2003. Jakarta : Prenada Media
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia. 2002. Jakarta : Djambatan




[1] Hasan, Syekh. H. Abdul Halim. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Kencana. Hal.130-137
[2] Anwar Rasyidi, Tafsir Al-Maraghi, 1989, hal.126-130
[3] Hafizh Dasuli, dkk. Al-Quran dan Tafsirnya, jilid VIII juz 22-24, 1995. hal, 317-319
[4] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqy, Tafsir Al-Quranul Majid, 1995, hal.3358-3359
[5] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, jilid 2, 2006, hal. 630-633
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2007, hal.62-63
[7] Syahrin Harahap, Ensiklopedi Aqidah Islam, 2003, hal, 430-433
[8] Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, 2002, hal,1167-1168.
[9] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, jilid 2, 2006, hal. 475-476
[10] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddiqy, Tafsir Al-Quranul Majid, 1995, hal.3107-3113
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 2007, hal.124-131

[12] http://ummusyauqy.wordpress.com/page/3/

Tidak ada komentar:

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...