Jumat, 15 Mei 2015

DENDANG KEMATIAN


DENDANG KEMATIAN

Oleh : Phalosa Aini

Semalam aku bermimpi salah satu gigiku copot. Menurut mitos jika kita mimpi salah satu organ tubuh hilang itu pertanda buruk. Konon katanya akan ada salah satu dari anggota keluarga yang akan meninggal. Sebenarnya aku tidak begitu mempercayai mitos tersebut karena sama saja syirik alias menyekutukan Tuhan. Bukankah kita tidak pernah mengetahui kapan ajal akan menjemput. Segera saja kutepis bayangan mimpi semalam. Meski sesekali masih berkelebat dibenakku.

Aku teringat dengan bapak yang beberapa hari ini dikabari ibu dalam keadaan sakit. Kondisi bapak sudah tidak sekuat dulu lagi. Sekarang dia sering sakit-sakitan. Dia banyak menghabiskan waktunya di tempat tidur. Aku tidak tahu persis sakit apa yang mendera bapak akhir-akhir ini. Terakhir kali aku mengunjungi bapak enam bulan yang lalu. Dia masih terlihat segar bugar. Ah mungkin saja faktor usia karena usia bapak sudah enam puluh tahun. Seminggu yang lalu Ibu memintaku pulang ke kampung melihat kondisi bapak. Kata ibu, bapak sering menyebut-nyebut namaku saat dia tidur.

Permintaan ibu baru hari ini bisa aku penuhi. Aku minta izin selama satu minggu dari pekerjaan. Untung saja sekolah tempatku mengajar mengizinkan. Rencananya pagi ini aku akan pulang menuju tempat kelahiranku Batusangkar. Sengaja aku menelfon angkutan travel biar lebih cepat sampai di rumah. 

Pukul delapan pagi aku berangkat dari Padang setelah menunggu setengah jam karena keterlambatan supir travel menjemputku. Aku menggerutu sepanjang jalan karena supir travel tersebut masih baru dan masih belum hafal kemana arah jalannya. Huh kok bisa-bisanya ya si pimpinan menerima supir seperti dia. Ini menyangkut kenyamanan pelanggan. Bukankah orang-orang memilih jasa travel yang lebih cepat daripada naik bus yang super lelet. Jadi kenyamanan pelanggan harus diperhatikan.

“Ini belok kemana jalannya mbak,” ujar sang supir untuk kesekian kalinya.
“Terserah saja mas, mau kanan atau kiri yang penting sampai,” jawabku sekenanya.
Sang supir kebingungan. Untung ada ibu-ibu yang berbaik hati memberi petunjuk karena kebetulan tujuan kami sama. Aku yang sedari tadi kesal langsung pura-pura tidur walau sebenarnya mataku tidak mau kompromi. Sengaja kupejamkan mata biar si supir mengira aku tidur. Padahal pikiranku sudah ada di rumah teringat omongan ibu beberapa hari yang lalu ditambah dengan mimpi buruk semalam. Aku juga tidak bisa memungkiri mitos tersebut karena terkadang juga bertemu di kehidupan nyata.
Setelah melewati detik-detik yang melelahkan, akhirnya perjalanan yang membosankan sekaligus mengesalkan itu berakhir. Aku langsung disambut ibu karena kebetulan rumahku tidak jauh dari jalan raya. Ibu langsung memeluk dan menciumku.
“Ayo masuk Ran,” ujar ibu sambil mengelus pundakku.
 Ada getaran aneh dari suaranya menyapaku. Seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan ibu kepadaku. Namun ibu tidak mau kekhawatirannya mengganggu suasana kedatanganku. Ibu langsung mengajakku masuk ke dalam rumah menemui bapak yang sedari tadi sudah menunggu kedatanganku.

Aku bergegas masuk ke dalam rumah langsung menuju ruang tamu. Aku terkejut melihat bapak. Seketika aku tercekat dan tidak mampu berkata-kata melihat tubuh ringkih yang terduduk lemas di kursi roda. Sebuah senyum bahagia yang dipaksakan demi menutupi keperihannya menahan sakit. Aku berlari memeluk bapak.
“Rani, akhirnya kamu pulang juga Nak,” ujar bapak serak sambil mengusap rambutku.
Aku menatap mata bapak. Senyum tulus dan ikhlas selalu membayangi wajah tua bapak. Tanpa kusadari bulir bening yang sedari tadi kutahan menetes dipipiku.
“Kamu kenapa Nak? Bapak tidak apa-apa kenapa menangis?” tanya bapakku khawatir.
Segera kuhapus airmataku dan menggelengkan kepala.
“Tidak apa-apa pak, karena bahagia bertemu bapak,” jawabku mengelak.
Aku harus kuat didepan bapak. Aku tidak boleh kelihatan cengeng. Bapak saja yang sakit-sakitan selalu tersenyum.
“Ya sudah, bawa barang-barangmu ke kamar. Setelah itu kita makan bersama. Ibumu sudah masak sambal kesukaanmu, rendang belut sama kerupuk jengkol,”
“Wouw, enak sekali. Aku juga sudah lapar pak. Tadi cuma makan roti dan minum segelas teh,”
Mendengar rendang belut dan kerupuk jengkol perutku langsung kriuk-kriuk. Segera kubawa tas ke dalam lamar. Dan bergabung bersama ibu dan bapak di ruang makan.
***
Empat hari sudah aku di rumah. Bapak terlihat mulai pulih. Ibu bilang bapak sakit tekanan darah tinggi. Bapak tidak mau dirawat di rumah sakit. Melihat kondisi bapak hari ini aku optimis bapak bisa beraktivitas seperti semula. Sore ini bapak mengajakku bercerita masa-masa zaman dulu sambil menunggu adzan maghrib berkumandang. 

Mereka ulang kisah perjalanan hidupnya masa muda. Selama ini aku selalu mengelak ketika bapak mulai mengulas kisah. Aku akan mencari-cari alasan agar tidak berlama-lama mendengar cerita bapak. Namun kali ini ketertarikanku dengan semua perjuangan bapak semasa mudanya membuatku betah berada disampingnya.

“Ran, kalau bapak telah pergi tolong jangan menangis ya, jangan menyerah dengan kehidupan ini Nak. Kamu harus selesaikan kuliahmu hingga sarjana. Bapak yakin kamu bisa menjalaninya. Maafkan selama ini bapak sering tidak mempedulikan kamu. Itu semua bapak lakukan karena bapak mau kamu mandiri meski bapak tidak disamping kamu,” ujar bapak panjang lebar.

Aku hanya mampu mengangguk mengiyakan. Tidak sanggup menanggapi omongan bapak. Apakah bapak benar-benar akan pergi untuk selamanya? Bisikku dalam hati.
***
Senja berganti malam. Mentari telah digantikan dengan kehadiran bulan. Menyapa malamku yang gelisah. Sekarang sudah pukul dua belas malam. Dari tadi aku belum bisa memejamkan mata. Dentang jarum jam menambah derap kesunyianku. Pikiranku masih melayang pada pembicaraan dengan bapak tadi sore. Apakah bapak telah merasakan kedatangan malaikat yang akan menjemputnya. Ah bapak…

Tiba-tiba kudengar suara seseorang berdendang. Lamat kudengar dendangannya semakin mengiba-iba. Kupertajam pendengaran untuk mengetahui siapakah gerangan yang berdendang ditengah malam sunyi ini. Aku tersentak ternyata itu suara bapak. Kenapa bapak belum tidur jam segini. Namun aku tidak berani mengganggu bapak. Aku hanya menyimak apa yang disampaikan bapak.

Alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun baganti musim sandi Adat jangan dianjak. Adat biaso kito pakai, limbago nan samo dituang, nan elok samo dipakai nan buruak samo dibuang. Anggang nan datang dari lauik, tabang sarato jo mangkuto, dek baik budi nan manyambuik, pumpun kuku patah pauahnyo,”[1]
Diam. Beberapa menit berlalu sunyi. Kemudian terdengar lagi suara bapak dengan nada yang menyayat hati.
Bajalan paliharolah kaki Nak oi, bakato paliharolah lidah. Kato bapak kato panggaja, kato kalipah dari mamak, mujua indak dapek kito kaja, malang tak dapek kito tulak. Dibaliak pandakian ado panurunan, dibaliak panurunan ado pandakian,”[2]

Kemudian diam lagi. Aku menunggu namun tiada lagi terdengar suara bapak. Mungkin bapak telah tidur. Aku pun juga telah diserang kantuk. Akhirnya aku tertidur pulas dengan semua tanda tanya yang kuendapkan.
***
Pukul lima subuh.
“Raan, Ranii,” suara ibu teriak dari luar kamar memanggilku.
Aku yang baru bangun kaget mendengar teriakan ibu.
“Apa Bu? Rani baru bangun,” jawabku.
“Bapakmu Nak, bapak,”
Hah. Ada apa dengan bapak. Bergegas aku keluar kamar menemui ibu yang menangis sambil mengguncang tubuh bapak. Aku yang melihat kondisi tersebut langsung terduduk lemas. Semalam aku masih mendengar suara bapak berdendang hingga tengah malam. Ternyata semua itu pesan sebelum kepergian bapak untuk selamanya. Ya Tuhan, ampuni dosa bapakku dan tempatkan ia di Sisi-Mu. Amin.
Selesai.

Ket :
[1] Walaupun tahun silih berganti musim selalu beredar, tetapi pegangan hidup jangan dilepas. Yang baik sama dipakai, yang buruk sama ditinggalkan. Seseorang yang disambut dengan budi yang baik dan tingkah laku yang sopan, musuh sekalipun tidak akan menjadi ganas.
[2] Hati-hatilah dalam berjalan begitu juga dalam melihat, sehingga tidak menyakiti orang lain. Keuntungan tak dapat dikejar-kejar, begitupun mara bahaya dan musibah tidak kuasa manusia menolaknya. Di balik kesusahan ada kemudahan, di balik penderitaan ada kesenangan.


Tidak ada komentar:

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...