Kamis, 28 Mei 2015

Segitiga Rasa


Oleh : Phalosa Aini

“Ibunda hawa, dengan cinta kateksisnya, telah memberangus cinta Nabi Adam As. Sebagai bukti, paling tidak kau bisa membaca bagaimana Nabi Adam menuruti keinginan Ibunda Hawa untuk melanggar makan “buah keabadian” sehingga dideportasi oleh Allah dari Syurga ke Bumi,”

“Ibunda Khadijah, dengan cinta altruistis mutualistisnya, berani menyatakan diri untuk melamar Baginda Muhammad SAW dan kemudian setia ikut serta memperjuangkan beliau dan segala apa yang dibawa beliau, sehingga dunia yang gulita menjadi terang benggala. Nah kau mau menjadi perempuan seperti siapa? Silahkan pilih salah seorang dari dua sosok besar itu! Insya Allah, jawabanmu akan menentukan siapa dirimu sebenarnya di masa depan.”  Itu ujarmu suatu hari.
 
Dan aku lebih memilih Ibunda Khadijah namun tidak dengan kondisi seperti ini. Kau mempertanyakan “kondisi seperti ini” yang aku maksud. Namun aku tidak menanggapi pertanyaanmu. Mungkin kau ingin tahu kenapa aku berucap demikian. 

Aku memang ingin seperti Ibunda Khadijah yang berjuang bersama suaminya. Namun kondisi yang aku hadapi sekarang berbeda. Aku hadir diantara kalian. Kau dan bidadari embun. Karena itu aku tidak mau menjadi pihak ketiga sebuah hubungan. Yah hubungan kau dengannya, istri masa depan yang selalu kau dengungkan kepadaku. Aku bisa saja meneriakkan bahwa aku menyayangimu dan aku memintamu menjadi pendampingku, seperti ungkapanku kala itu.
“Maukah kau menjadi bintangku?”
Aku selalu mengulur waktu ketika kau berniat menghubungiku? Karena aku belum ingin mengenali seorang lelaki seutuhnya. Aku telah lelah. Lelah dikhianati, lelah dicintai bahkan lelah untuk disayangi. Kubiarkan waktu membawaku ke mana arah yang disukainya. Tidak jarang aku pasrah dengan keadaan. Bagiku cinta hanya menyakitkan. Bahkan di keluargaku sendiri. Aku belum pernah menemukan cinta yang membahagiakan. Hal ini membuatku trauma meski kau selalu melarangku agar tidak menggeneralisasi keadaan. Tidak semuanya bersikap demikian, ujarmu. Namun sulit bagiku untuk mempercayainya kembali.

Bahkan hingga detik ini membuatku semakin tidak percaya bahwa cinta itu benar-benar ada. Aku tahu Tuhan adalah Sang Pemilik Cinta. Dan aku berusaha memahami cinta yang diberikan Tuhan untukku. Mungkin saja karena cinta Tuhan kepadaku hingga aku harus diuji dengan kehilangan cinta Makhluk-Nya.

Aku sadari sebenarnya aku sosok yang lemah namun selalu ingin terlihat tegar di hadapan orang-orang. Bukan aku munafik. Namun itulah caraku belajar mencinta, belajar menyayangi. Meski ketika kesendirian menyergapku tidak jarang air mata menjadi tumpahan resah. Begitu pedihnya kehidupan yang aku lakoni. Begitu sakitnya luka yang mereka beri. Betapa kerapnya aku harus kehilangan orang-orang yang ku sayangi. Tapi aku yakin, Tuhan selalu punya cara untuk menyembuhkannya. Inilah hidupku. Kehilangan membuatku selalu percaya bahwa Tuhan punya rencana lain untuk hidupku meski logika selalu membantahnya. Ini bukan untuk pertama kalinya aku kehilangan!

Benar. Bukan untuk pertama kalinya. Dan mungkin saja bukan untuk terakhir kalinya. Aku harus menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa. Sosok lemah yang selalu cengeng, pengecut, munafik, dan deretan keburukanku yang lain. Dan aku harus ikhlas menerima keputusan Tuhan untuk mengambil orang-orang yang kusayang. Mungkin saja aku memang bukan yang terbaik di mata siapa pun. Tidak terkecuali keluargaku, termasuk dirimu.

Telah beberapa kali moment penting itu memberangus pondasi cinta yang kubangun dengan susah payah. Aku hanya ingin belajar mempercayai bahwa cinta itu benar-benar ada. Itu saja!
Semenjak kehadiran dirimu dalam hidupku, aku selalu mengatakan bahwa aku tidak boleh jatuh cinta! Sekali pun tidak! Namun semuanya bertolak belakang. Sapaanmu mengusik hari-hariku. Hingga aku terlalu dini menyimpulkan bahwa aku memiliki rasa untukmu. 

Sekarang aku tidak tahu harus berujar bagaimana lagi. Aku harus kehilangan untuk kesekian kalinya. Kehilangan seseorang yang kusayang menurut versiku. Aku memang tidak terbiasa dengan sebuah pengakuan. Namun ketika aku menyayangi seseorang, lihatlah bagaimana aku merespon pembicaraannya. Lihatlah bagaimana aku selalu mendesahkan kalimat rindu padanya. Lihatlah bagaimana aku membuat dia merasa nyaman denganku. Lihatlah bagaimana aku mencoba menjadi seorang sahabat baginya. Bahkan mungkin aku harus menutupi segala gundahku dihadapannya. Karena aku tidak ingin mengkhawatirkan dia. Ah, tidak perlu kuungkap lagi lembaran sendu itu.

Mendung sepertinya hendak terus menggantung di sepasang mataku. Enam kali cuaca berubah tidak pernah membuatku begini lelah dalam gundah. Keterpesonaanku pada lintasan bayangmu hanya menggoreskan luka. Kuharap tiada lagi salam rindu yang kau kirimkan lewat desahan angin malam. Tiada lagi kata bijak yang selalu kau senandungkan kala gundah menghampiriku. Dan aku pun tidak menginginkan lagi penjelasan panjang lebar seperti ujarmu beberapa waktu lalu.

“Aku ingin sekali mendampingimu sepanjang hidupku. Tetapi aku tidak mau menyakiti bidadari embun yang telah lebih dulu meminang rindumu. Apalagi aku merasa masih ada sisa dawai renjana yang kautaruh lewat diam doamu untuknya,”

Aku hanya mampu terdiam menikmati perih ketika pesan itu kau kirimkan padaku. Betapa beruntungnya dia, bidadari embun, istri masa depan yang telah kau terima pinangannya.

Aku heran kau selalu dibingungkan dengan bidadarimu itu. Kau selalu terbelit dalam lingkaran masalah karena bidadarimu itu. Namun, kau tetap teguh mempertahankan cintamu meski sebenarnya kau sudah lelah. Lelah dalam gundah. Seperti curhatanmu kala itu.
“Aku pun bungkam beribu kalam. Entah mengapa aku selalu mendengar dia disebutkan banyak orang. Padahal aku sudah lelah. Aku ingin istirah kendati mustahil melupakan semuanya. Kalau memang dia yang dikirim Tuhan untuk hidup-matiku, setidaknya aku kembali membangun arsitektur cinta yang sama untuk istriku di masa depan. Ya, untuk istriku, siapa dan dari mana pun dia hadirnya.
Kau tentu tahu, bukan, bahwa aku juga bisa merindukanmu? Bukankah kau sudah kenal baik bahwa aku hanya sebatas utusan cinta yang bertugas menyayangi, bukan memiliki?”
Ah, aku semakin muak mendengar penjelasanmu. Kau tidak pernah tahu betapa terlukanya aku atas perlakuanmu. Jika kau benar-benar mengerti perempuan seharusnya kau tidak memulai ini sejak semula. Kenapa harus ada pengkhianatan? Dan kenapa kau menambah satu poin negatif lagi untuk kaummu?
Kau tahu? Aku selalu berupaya mengunci pintu ini namun celah-celah di dinding selalu meniupkan angin kerinduan yang menyesakkan dada.
Dan kau pun selalu berkata,“Aku bersyukur kepada Tuhan. Sebab, tanpa pertemuan dan perpisahan pun kita masih bisa menyulam kesunyian berjam-jam menjadi biola kerinduan.” Namun tidak demikian adanya denganku. Sekarang aku terpaksa egois meninggalkanmu. Kupikir bidadari embun akan setia menemani hari-harimu. Meski kau selalu mengatakan “padahal aku bisa menjadi siapa saja”.
Ya, kau bisa menjadi siapa saja. Namun hatiku tidak bisa menerimanya. Bukannya kau sudah tahu bagaimana gejolak hati ini. Gemuruh yang terjadi ketika aku ada dihadapanmu.
Sekarang aku hanya ingin berhenti. Berhenti mengenangmu dan segalanya. Aku sungguh ingin lepas dari jeratan segitiga rasa ini. Karena hanya membuatku semakin terpasung dalam jejak mimpi yang kian sirna. Bagiku, kau dan dia adalah sebuah memori yang harus kukubur dalam agar tidak ada lagi yang menjamah labirin hati.

Tidak ada komentar:

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt

Lomba Menulis dari FPKS DPR RI, Hadiah 80 Jt Informasi lomba yang akan dibagikan dalam website lomba selanjutnya, adalah Lomb...